Kamis, 29 Mei 2014

Tentang Cinta

Pernahkah kau menemukan benda yang tak disangka-sangka dapat membuatmu tertawa miris?

Aku menemukannya hari ini.
Saat menunggu di stasiun sepi kala hujan menghampiri.
Ya, rel kereta api.

Kau bertanya kenapa?
Jelas kau menanyakannya.
Karena kau tak pernah berdiri di posisi yang selalu kutempati beberapa musim terakhir ini.

Rel ini, bekerja baik bila bersisian.
Mereka kadang bersinggungan, namun menuju arah yang berbeda.
Lalu kembali bersisian lagi.

Begitulah kita.
selalu bersisian, selalu bersama... juga selalu memiliki jarak.
Tidak akan ada hal baik yang terjadi bila aku sedikit saja melangkah pergi dari sisi itu,
lalu mencoba untuk lebih dekat denganmu.

Hatiku, hatimu dan hatinya...
tentu saja akan tersakiti.

Ah, aku jadi mengingat nasehat seseorang tentang perasaan ini.

Jangan terjebak dengan cinta seperti itu.
Mereka seperti pasir penghisap.
Semakin kau menekannya, semakin kau mencoba untuk lari darinya, semakin ia menjeratmu.
Tidak akan ada jalan keluar.
Kau hanya bisa menunggu...
menunggu apa kau akan tenggelam dalam perasaan tanpa dasar itu,
atau kau akan ditarik keluar oleh cinta yang tidak hanya menjerat...
namun juga terjerat.

Saling menjerat, begitu, kan cinta seharusnya?

Cinta Itu Adalah Aku

Bukan aku yang tidak mengetuk,
Kamu yang tidak membukakanku pintu.


Bukan aku yang bersembunyi entah di mana,
kamu yang tidak membuka matamu.

Bukan aku yang tidak pernah ada untukmu,
Kamu yang membiarkan dirimu menunggu atas cinta yang justru tak tertuju padamu.


Bukan cinta yang tak tercipta,
Tapi hati yang tak ingin tertaut dengannya.


Tak bisakah kamu membuka pintumu, melihatku, dan menemukan bahwa cinta itu adalah aku?


Cinta kepada hati

Minggu, 18 Mei 2014

England, I Am ready For You!


Pertama kali saya tahu kalau Mister Potato membuat lomba berhadiah ke Inggris adalah ketika membaca tweet dari akun @aMrazing. Hadiahnya jelas membuat saya sangat bersemangat mengikuti lomba ini. Syaratnya susah-susah gampang. Membuat cerita dengan tema, 'Mengapa Saya Harus Ke Inggris'.

Dibandingkan menyebutnya mudah, sebenarnya syarat mengikuti lomba ini lebih tepat disebut menyenangkan.
Selain menulis sebuah cerita, peserta lomba juga tidak harus mengumpulkan banyak akun lain yang me-retweet atau me-like status dengan link tulisan kita di Facebook atau Twitter.
Jujur saja, setiap ada lomba dengan syarat pemenang adalah yang paling bayak di-retweet atau di-like, saya sudah nyerah duluan. Pasti kalah soalnya.

Lomba ini menjadi susah, karena..., well, tulisan kita akan dijuri oleh tiga penulis hebat yang bukunya sudah pada laris di pasaran.
Walau susah tapi lomba ini menjadi benar-benar adil dalam penentuan pemenang.
Dan walau susah, hadiahnya tentu terlalu menggiurkan untuk membuat saya menyerah.

memikirkan tentang mengapa saya harus ke London, saya mendapatkan tiga alasan.
Pertama, ya, karena destinasinya Inggris, gratis pula.
Kedua, karena Alexander Thian.
Ketiga, syarat mengikuti lomba.

Untuk alasan pertama, karena destinasinya Inggris.
Sebagai pekerja frontliner di salah satu bank swasta Indonesia, pekerjaan saya berhubungan langsung dengan para nasabah. Sering kali percakapan kami membicarakan tentang destinasi perjalanan yang telah mereka lalui. dari percakapan itu saya sering mendapatkan tanggapan yang sama tentang perjalanan tur ke Eropa mereka. Banyak dari mereka yang memberi kesan yang serupa mengenai Inggris. 
'Inggris yang paling berkesan'
'Inggris yang paling indah'.
'Tur kami kali ini akan ke Inggris lagi."

Karena itulah saya menjadi sangat penasaran dengan negara itu. 
Apa, sih, yang membuatnya begitu memikat?
Dan untuk mengetahuinya, tentu saya harus ke sana.
Siapa sangka kesempatan untuk bisa menapakkan kaki ke sana datang begitu cepat? :D

Untuk alasan kedua, karena Alexander Thian.
Bukan, saya bukan secret admirer, tukang stalker akun twitternya sampai mentok tidak bisa dibaca lagi.
Saya hanya satu dari follower akun twitternya yang kemudian tersesat di akun instagramnya dan sering kali jatuh cinta pada foto-foto perjalanan yang ia bagi.
Sering, proses mencerna foto yang ia bagi adalah : lihat - tiba-tiba sesak napas - like fotonya-mengumpat.
Ya, mengumpat karena kagum dengan kemampuannya.
Dia, si pemilik akun yang judesnya kadang ga ketulungan itu, bagi saya, memang lahir dengan jiwa seni.
Setiap foto memberikan kesan yang dalam, membawa cerita yang indah.
Dan sebagai follower, saya juga sering membaca cerita-cerita perjalanannya yang kadang membuat saya menggelengkan kepala. 
Ada-ada saja yang ia alami. 
Kadang membuat saya tersenyum dan merenung, tidak jarang juga membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. 
Namun, satu yang saya dapatkan dari ayah anak-anak berkaki empat ini, apa pun yang ia alami selalu ia lewati dengan tawa, bahkan untuk hal yang memalukan. 
Karena itu, saya yakin bahwa mendapatkan kesempatan berwisata (ke Inggris pula!) dengan seorang Alexander Thian pasti akan sangat menyenangkan dan menjadi pengalaman yang tak tergantikan.
Jadi, bagaimana bisa saya tidak memasukkannya ke dalam salah satu alasan saya harus ke Inggris kali ini?

Dan yang ketiga, syarat mengikuti lomba.
Menulis.
Baru sekali ini syarat sebuah lomba dengan hadiah yang luar biasa terasa menyenangkan bagi saya.
Walau masih sangat amatir dalam menulis, saya menyukai kegiatan menguntai kata-kata ini.
Selain itu, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa juri yang akan menentukan pemenang lomba ini adalah tiga penulis terkenal.
Bayangkan, seorang Windy Ariestanty, Christian Simamora dan Valian Budi Yogi akan membaca tulisan saya!
Bagaimana bila saya bisa membuat mereka tersenyum karena tulisan saya?
Bagaimana bila mereka menyukai tulisan saya?
Dan, bagaimana bila mereka memilih tulisan saya ini?
Tidak ada penghargaan yang lebih berkesan yang bisa saya terima lebih dari hal itu!


Membahas tentang traveling, sama seperti menulis, saya jatuh cinta dengan kegiatan traveling. Membicarakan tentang jalan-jalan saja sudah membuat saya senang.
Dan saya berjanji, suatu saat akan mengunjungi Inggris, walau saya tidak tahu kapan hal itu akan datang. Keluarga inti saya saja belum pernah ke sana karena biaya turnya yang luar biasa mahal.
Tapi, saya harus ke sana, tidak, saya yakin saya akan ke sana, suatu hari nanti.
Mengunjungi Buckingham Palace, terkagum-kagum dengan interior St. Paul's Catredal, ber-norak ria di Platform 9 3/4 King's Cross, menaiki London Eye, berfoto di depan Big Ben, mengunjungi stadion-stadion megah sambil merasakan antusiasme para pecinta sepak bola dan banyak lagi tempat yang ingin saya jelajahi.
Saya harus ke sana!

Namun, bisa ke Inggris dengan gratis, bersama seorang Alexander Thian, dan juga karena tulisan saya dipilih tiga penulis hebat adalah kesempatan yang hanya datang satu kali ini.
Karena itu, saya sangat-sangat ingin ke Inggris bersama Mister Potato.




Akhir kata, England, i am ready for you! :D





Tidak lupa, terima kasih tentunya, kepada Mister Potato yang sudah menyelenggarakan lomba keren ini!
(   Wah, tulisan saya sudah seperti tulisan pemenang saja... :))   )




Tentu Saja Kita Harus Pergi Bersama-Sama




Aku masih ingat hari itu, di mana kau datang dengan sekantong snack sebagai teman menyambut pergantian tahun.
Salah satunya, snack dengan rasa unik ini.





















Snack dengan rasa yang tidak ada di snack lain, begitu kau menjelaskannya.
Aku juga masih ingat saat kau menanyakan mengapa aku tertawa saat itu.
Aku menolak menjawab.
Terlalu malu saat itu untuk mengakui bahwa aku menyadari satu hal, dan persis dengan snack yang kau bawa itu.
Ya, kau tahu, mengenai rasa yang tidak ada duanya…
Aku juga memiliki rasa yang tidak pernah kutempatkan di relung hati pria lain.
Cinta.

Well, tentu saja semua itu tidak jadi terasa memalukan bila aku tahu malam itu kau menyatakan cinta padaku.


***

Aku tidak mengerti tentang sepak bola. Sedikit pun.
Setiap menonton pertandingan olahraga itu, aku hanya akan semangat di detik-detik bola tengah digiring ke arah gawang.
Walau tidak mengerti olahraga itu, setiap kali menonton pertandingan, tahu-tahu aku sudah dengan semangatnya ikut dalam selebrasi gol. Tidak peduli siapa timnya, aku akan ikut senang bila ada yang mencetak gol.
Akhir-akhir ini aku memang jadi  sering menonton pertandingan bola. Tentu saja karena menemanimu.
Karena terus menemanimu, paling tidak aku mulai tahu sedikit tahu tentang tim sepak bola.
Manchester United, kan? Tim dengan seragam merah itu?
Ah, aku lebih mudah mengingat wajah-wajah tampan pemainnya.
Rooney, kan namanya? Pria dengan senyuman menawan itu.
Kau hanya mendelik setiap kali aku semangat bila kamera mulai menyorot pemain berkulit pucat yang ternyata cukup emosional itu.

“Ada apa? Feromonnya sudah habis?” tanyamu suatu hari, ketika aku tidak antusias saat Rooney menciptakan skor untuk timnya malam itu.
“Aku membaca berita tentangnya tadi siang.Dia selingkuh, kan? Kupikir dia pria baik-baik.Ternyata sama binalnya,”jawabku tanpa ekspresi.
Kau mengedipkan mata berkali-kali, “Bin…”
Tawamu langsung pecah bahkan sebelum kau menyelesaikan kalimatmu.
“Karena itulah aku suka menonton bersamamu, komentarmu sama sekali tidak terduga,” ujarmu disela tawa yang masih tersisa.
Aku melirik dengan bibir tertekuk, kau tengah menyindir, ya? “Aku sudah bilang, aku bukan pecinta sepak bola. Jadi, jangan harapkan komentar yang berhubungan dengan kualitas permainan mereka.”
Aku menatap pria disampingku yang kini tengah menutupi wajahnya, senyum yang masih kelihatan itu membuatku menghela napas, “Lain kali kau menonton dengan Gerald saja, deh.”
Kau mengangkat tangan dari wajahmu. Tawamu kini mereda, “Aku sudah bilang, aku suka menonton bersamamu, kok.”
“Kau tidak terlihat begitu.”
“Kau yang tidak merasakannya.”
Aku terdiam.
“Aku sudah pernah bilang, aku lebih suka menonton pertandingan sepak bola sendirian. Gerald saja mengatakan aku makhluk aneh. Tapi, aku mendapati diriku tidak keberatan saat menonton bersamamu. Sejak pertama menonton bersamamu, aku menikmatinya,” kau terdiam sesaat, “Melihatmu mengikuti bola yang tertendang dari satu kaki ke kaki lainnya dengan bingung, melihatmu menopang dagu dengan tatapan bosan ke arah layar TV, melihat selebrasimu saat gol tercetak, lalu segera bertanya siapa yang mencetaknya… juga melihatmu yang tertidur di sampingku. Well, aku tidak pernah menyangka bahwa kau akan lebih menarik perhatianku daripada pertandingan-pertandingan bola yang ada...”
Kau tersenyum, menyudahi kata-katanya, membuatku terpaku.
“Selama pertandingannya bukan pertandingan penting, sih…” lanjutmu sambil tertawa geli melihatku kembali mendengus.

Karena jawabanmu itulah, aku membuat janji pada diriku sendiri, untuk selalu menemaninya. Bukan hanya dalam menonton pertandingan, tapi dalam apa pun.
Tapi ternyata kebersamaan tidak selalu berlangsung lama.


***

“Suatu hari kita harus merayakan tahun baru di Old Trafford...” gumammu tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel, “Stasion Manchester United.Stasion ini stasion terbesar kedua setelah stasion nasional Inggris,” kau menjelaskan sebelum aku bertanya.
Dan sebelum aku berpikir lebih jauh kemudian berkomentar ,kau sudah melanjutkan kata-kata.
“Setelah itu kita ke Emirates Stadium, Etihad,Anfielf, Stamford bridge, Goodison Park Everton, dan tentunya White Hart Lane. Wah, itu impianku!” lanjutmu semangat.
“Stamford Bridge? Dan apa, White Heart Land? Itu nama pulau? Kedengarannya romantis,” aku menggangguk namun gerakanku langsung terhenti saat aku menemukan ekpresi pria di sampingku ini tengah menahan tawa.
“Ya, Pasti romantis…”  kau menjawab sambil menyodorkan ponselnya padaku. Aku menatap curiga dan menemukan artikel dengan judul ’10  Stadion Sepakbola Terbesar & Termegah di Liga Inggris.
Aku langsung mengerti apa arti senyum yang gagal kau sembunyikan itu.
“Yang benar saja,” protesku setelah mendapatkan jawaban dari dugaanku.Artikel itu menjelaskan segalanya, “Bagaimana dengan Big Ben? Lalu, Buckingham Palace? Tentu saja kita harus naik London Eye!”
 “Tentu saja kita juga akan ke sana. Kita akan berfoto bersama di depan Big Ben, berpelukan di Buckingham Palace, dan berciuman saat kereta London Eye kita berada di puncak, tentu saja itu juga menjadi impianku” jawabmu dengan senyumannya yang khas, “Tapi… Tentu saja kita harus ke semua stadion sepakbola di Inggris dulu,” lanjutmu mengusiliku.
“Kalau begitu, kita pisah jalur saja.”
“Eh, jangan! Tentu saja kita harus pergi bersama-sama. Percayalah kau tidak akan menyesal.”
Aku memicingkan mataku.
Dalam riuh tawamu aku menyetujui.
Bagaimana bisa aku tidak menikmati perjalanan bersamamu?


***


27 Desember 2013.
Pukul 16.00.

Hai Dani, ini surat ketiga yang kutulis untukmu.
Kau belum bosan, kan, membaca celotehanku?

Bulan sudah bergulir ke Desember, lima hari lagi empat digit tahun yang sudah menemani kita selama dua belas bulan ini akan tergantikan.
Seperti Desember-Desember yang lalu, bulan terakhir di tahun ini sama seperti biasanya. Mengundang mendung, membawa hujan, memenjara rasa rindu.

Aku masih tetap merindukanmu, Dani.
Aku juga masih menyesali mengapa di saat itu aku tidak berada di mobil yang sama denganmu, agar maut tidak hanya menjemputmu, tapi juga diriku.
Agar bukan impian-impianmu yang terengut, tapi juga impianku.

Oh, iya, kau tahu kalau teman-temanku mempertanyakan keputusanku? Mereka memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka jelas kesal karena aku tidak bisa ikut acara malam tahun baru mereka di Bali nanti.

"Kenapa harus ke Inggris?
“Harga-harga barang apa pun itu akan mahal, tahun baru, loh!
“ Pas tahun baru, sendirian lagi, tidak takut kesepian?
“Benar, lebih baik ke Bali bersama kami!"

Mereka benar-benar tidak mendukung keinginanku ke Inggris. :D

Ya, aku akan melewati pergantian tahun di sana.

Kau tidak ikut-ikut mereka menentangku, kan?
Aku juga sempat mempertanyakan diri sendiri, apa keputusanku sudah tepat? Apa aku harus ke Inggris?
Tapi, kemudian aku tahu, aku memang harus ke sana.
Setidaknya, sekali ini aku harus memenuhi janji kita berdua yang sudah tak bisa seutuhnya digenapi.
Aku tidak mau suatu hari nanti, saat memiliki kesempatan ke sana, aku justru sudah pergi dengan seorang pria J.

Ya, aku sudah mencoba menerima siklus kehidupan ini.
Pertemuan dan perpisahan.
Kehidupan dan kematian.
Aku akan menjalani hidup dengan baik.
Walau  tak terelakkan, kenangan atas apa yang telah terlewati bisa kita biarkan terus ada, bukan?
Aku tak akan berusaha menghapus kenanganmu lagi.
Toh, aku yakin hati ini, akan cukup lapang untuk membiarkanmu hidup di dalamnya.

Karena itu aku harus ke Inggris.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik awalku untuk kembali melangkah tanpa goyah.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik akhirku untuk membuatmu khawatir lagi.
Aku akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, percayalah.
Aku akan kembali menjadi Kana yang dulu.
Karena itu, tersenyumlah di atas sana.



Ps: Hei, kau tidak mengira aku akan melewatkannya segala stadion bola itu, kan?
Kau akan kaget melihatku mengunjungi semua stadion yang kau sebut-sebut dulu!
Kau tidak akan percaya.
Kau sendiri yang bilang kalau aku harus ke sana dan tidak akan menyesal, bukan?
Kita lihat saja nanti.

Dan…
Well, kurasa…
Ya, kurasa Evan cukup mengambil andil untuk menyadarkanku.
Menyadarkan bahwa hidup ini masih sangat indah.
Kau… juga merasa dia pria yang baik, kan?

Baiklah, sampai di sini saja, sampai jumpa!

Sincerenly, Kiara.





“Tentu saja kita harus pergi bersama-bersama!


***