Tentu Saja Kita Harus Pergi Bersama-Sama
Aku masih ingat hari itu, di mana kau datang dengan
sekantong snack sebagai teman menyambut pergantian tahun.
Salah satunya, snack dengan rasa unik ini.
Snack dengan rasa yang tidak ada di snack lain, begitu kau menjelaskannya.
Aku juga masih ingat saat kau menanyakan mengapa aku tertawa
saat itu.
Aku menolak menjawab.
Terlalu malu saat itu untuk mengakui bahwa aku menyadari
satu hal, dan persis dengan snack yang kau bawa itu.
Ya, kau tahu, mengenai rasa yang tidak ada duanya…
Aku juga memiliki rasa yang tidak pernah kutempatkan di
relung hati pria lain.
Cinta.
Well, tentu saja semua itu tidak jadi terasa memalukan bila
aku tahu malam itu kau menyatakan cinta padaku.
***
Aku tidak mengerti tentang sepak bola. Sedikit pun.
Setiap menonton pertandingan olahraga itu, aku hanya akan
semangat di detik-detik bola tengah digiring ke arah gawang.
Walau tidak mengerti olahraga itu, setiap kali menonton
pertandingan, tahu-tahu aku sudah dengan semangatnya ikut dalam selebrasi gol.
Tidak peduli siapa timnya, aku akan ikut senang bila ada yang mencetak gol.
Akhir-akhir ini aku memang jadi sering menonton pertandingan bola. Tentu saja
karena menemanimu.
Karena terus menemanimu, paling tidak aku mulai tahu sedikit
tahu tentang tim sepak bola.
Manchester United, kan? Tim dengan seragam merah itu?
Ah, aku lebih mudah mengingat wajah-wajah tampan pemainnya.
Rooney, kan namanya? Pria dengan senyuman menawan itu.
Kau hanya mendelik setiap kali aku semangat bila kamera
mulai menyorot pemain berkulit pucat yang ternyata cukup emosional itu.
“Ada apa? Feromonnya sudah habis?”
tanyamu suatu hari, ketika aku tidak antusias saat Rooney menciptakan skor
untuk timnya malam itu.
“Aku membaca berita tentangnya tadi
siang.Dia selingkuh, kan? Kupikir dia pria baik-baik.Ternyata sama binalnya,”jawabku
tanpa ekspresi.
Kau mengedipkan mata berkali-kali, “Bin…”
Tawamu langsung pecah bahkan sebelum kau menyelesaikan
kalimatmu.
“Karena itulah aku suka menonton
bersamamu, komentarmu sama sekali tidak terduga,” ujarmu disela tawa yang masih tersisa.
Aku melirik dengan bibir tertekuk, kau tengah menyindir, ya? “Aku sudah bilang, aku bukan pecinta
sepak bola. Jadi, jangan harapkan komentar yang berhubungan dengan kualitas
permainan mereka.”
Aku menatap pria disampingku yang kini tengah menutupi
wajahnya, senyum yang masih kelihatan itu membuatku menghela napas, “Lain
kali kau menonton dengan Gerald saja, deh.”
Kau mengangkat tangan dari wajahmu. Tawamu kini mereda, “Aku
sudah bilang, aku suka menonton bersamamu, kok.”
“Kau tidak terlihat begitu.”
“Kau yang tidak merasakannya.”
Aku terdiam.
“Aku sudah pernah bilang, aku lebih suka
menonton pertandingan sepak bola sendirian. Gerald saja mengatakan aku makhluk
aneh. Tapi, aku mendapati diriku tidak keberatan saat menonton bersamamu. Sejak
pertama menonton bersamamu, aku menikmatinya,” kau terdiam sesaat, “Melihatmu
mengikuti bola yang tertendang dari satu kaki ke kaki lainnya dengan bingung,
melihatmu menopang dagu dengan tatapan bosan ke arah layar TV, melihat
selebrasimu saat gol tercetak, lalu segera bertanya siapa yang mencetaknya…
juga melihatmu yang tertidur di sampingku. Well,
aku tidak pernah menyangka bahwa kau akan lebih menarik perhatianku daripada
pertandingan-pertandingan bola yang ada...”
Kau tersenyum, menyudahi kata-katanya, membuatku terpaku.
“Selama pertandingannya bukan
pertandingan penting, sih…” lanjutmu sambil tertawa geli melihatku
kembali mendengus.
Karena jawabanmu itulah, aku membuat janji pada diriku
sendiri, untuk selalu menemaninya. Bukan hanya dalam menonton pertandingan,
tapi dalam apa pun.
Tapi ternyata kebersamaan tidak selalu berlangsung lama.
***
“Suatu hari kita harus merayakan tahun
baru di Old Trafford...” gumammu tanpa melepaskan pandangan dari
layar ponsel, “Stasion Manchester United.Stasion ini stasion terbesar kedua
setelah stasion nasional Inggris,” kau menjelaskan sebelum aku bertanya.
Dan sebelum aku berpikir lebih jauh kemudian berkomentar
,kau sudah melanjutkan kata-kata.
“Setelah itu kita ke Emirates Stadium,
Etihad,Anfielf, Stamford bridge, Goodison Park Everton, dan tentunya White Hart
Lane. Wah, itu impianku!” lanjutmu semangat.
“Stamford Bridge? Dan apa, White Heart
Land? Itu nama pulau? Kedengarannya romantis,” aku menggangguk namun gerakanku
langsung terhenti saat aku menemukan ekpresi pria di sampingku ini tengah
menahan tawa.
“Ya, Pasti romantis…” kau menjawab sambil menyodorkan ponselnya
padaku. Aku menatap curiga dan menemukan artikel dengan judul ’10
Stadion Sepakbola Terbesar & Termegah di Liga Inggris’.
Aku langsung mengerti apa arti senyum yang gagal kau
sembunyikan itu.
“Yang benar saja,” protesku
setelah mendapatkan jawaban dari dugaanku.Artikel itu menjelaskan segalanya, “Bagaimana
dengan Big Ben? Lalu, Buckingham Palace? Tentu saja kita harus naik London Eye!”
“Tentu
saja kita juga akan ke sana. Kita akan berfoto bersama di depan Big Ben,
berpelukan di Buckingham Palace, dan berciuman saat kereta London Eye kita
berada di puncak, tentu saja itu juga menjadi impianku” jawabmu
dengan senyumannya yang khas, “Tapi… Tentu saja kita harus ke semua stadion
sepakbola di Inggris dulu,” lanjutmu mengusiliku.
“Kalau begitu, kita pisah jalur saja.”
“Eh, jangan! Tentu saja kita harus pergi
bersama-sama. Percayalah kau tidak akan menyesal.”
Aku memicingkan mataku.
Dalam riuh tawamu aku menyetujui.
Bagaimana bisa aku tidak menikmati perjalanan bersamamu?
***
27 Desember 2013.
Pukul 16.00.
Hai Dani, ini surat ketiga yang kutulis untukmu.
Kau belum bosan, kan, membaca celotehanku?
Bulan sudah bergulir ke Desember, lima hari lagi empat digit
tahun yang sudah menemani kita selama dua belas bulan ini akan tergantikan.
Seperti Desember-Desember yang lalu, bulan terakhir di tahun
ini sama seperti biasanya. Mengundang mendung, membawa hujan, memenjara rasa
rindu.
Aku masih tetap merindukanmu, Dani.
Aku juga masih menyesali mengapa di saat itu aku tidak
berada di mobil yang sama denganmu, agar maut tidak hanya menjemputmu, tapi
juga diriku.
Agar bukan impian-impianmu yang terengut, tapi juga
impianku.
Oh, iya, kau tahu kalau teman-temanku mempertanyakan
keputusanku? Mereka memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka jelas
kesal karena aku tidak bisa ikut acara malam tahun baru mereka di Bali nanti.
"Kenapa harus ke
Inggris?”
“Harga-harga
barang apa pun itu akan mahal, tahun baru, loh!”
“
Pas tahun baru, sendirian lagi, tidak takut kesepian?”
“Benar,
lebih baik ke Bali bersama kami!"
Mereka benar-benar tidak mendukung
keinginanku ke Inggris. :D
Ya, aku akan melewati pergantian
tahun di sana.
Kau tidak ikut-ikut mereka
menentangku, kan?
Aku juga sempat mempertanyakan
diri sendiri, apa keputusanku sudah tepat? Apa aku harus ke Inggris?
Tapi, kemudian aku tahu, aku
memang harus ke sana.
Setidaknya, sekali ini aku harus memenuhi
janji kita berdua yang sudah tak bisa seutuhnya digenapi.
Aku tidak mau suatu hari nanti,
saat memiliki kesempatan ke sana, aku justru sudah pergi dengan seorang pria J.
Ya, aku sudah mencoba menerima
siklus kehidupan ini.
Pertemuan dan perpisahan.
Kehidupan dan kematian.
Aku akan menjalani hidup dengan
baik.
Walau tak terelakkan, kenangan atas apa yang telah
terlewati bisa kita biarkan terus ada, bukan?
Aku tak akan berusaha menghapus
kenanganmu lagi.
Toh, aku yakin hati ini, akan
cukup lapang untuk membiarkanmu hidup di dalamnya.
Karena itu aku harus ke Inggris.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik awalku untuk kembali
melangkah tanpa goyah.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik akhirku untuk membuatmu
khawatir lagi.
Aku akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, percayalah.
Aku akan kembali menjadi Kana yang dulu.
Karena itu, tersenyumlah di atas
sana.
Ps: Hei, kau tidak mengira aku
akan melewatkannya segala stadion bola itu, kan?
Kau akan kaget melihatku mengunjungi semua stadion yang
kau sebut-sebut dulu!
Kau tidak akan percaya.
Kau sendiri yang bilang kalau aku harus ke sana dan tidak
akan menyesal, bukan?
Kita lihat saja nanti.
Dan…
Well, kurasa…
Ya, kurasa Evan cukup mengambil
andil untuk menyadarkanku.
Menyadarkan bahwa hidup ini masih
sangat indah.
Kau… juga merasa dia pria yang baik, kan?
Baiklah, sampai di sini saja,
sampai jumpa!
Sincerenly, Kiara.
“Tentu
saja kita harus pergi bersama-bersama!”
***