Kala petang menghampiri dan hujan datang menyertai, Kau tahu di mana tempatmu untuk menemukan cerita-ceritaku...
Minggu, 13 April 2014
The Day We Met
Aku menyusuri Jalan Masjid Kapitan Keling, George Town.
Masjid Kapitan Keling sudah di depan mata, sekarang tinggal mencari rumah makan terkenal itu.
Ya, George Town, Penang tempatku berada sekarang.
Perjalanan atas janji yang tak bisa terpenuhi seutuhnya.
***
George town, kota kecil yang menyenangkan.
Baru sampai sore ini dan aku langsung jatuh cinta dengan suasana kota dengan bangunan-bangunan tua yang terawat baik ini.
Ibu benar, kota ini memiliki jerat tak kasat mata bagi pelancongnya.
Belum lagi soal pilihan makanan yang ditawarkan.
Tak sedikit tanggapan yang mengatakan bahwa makanan terenak se-Malaysia ada di Penang.
Dan, di George Town sendiri banyak tersebar rumah makan yang sangat mengundang untuk dikunjungi.
Salah satunya adalah rumah makan Nasi Kandar Beratur yang terletak di Jalan Masjid Kapitan Keling ini.
Dari informasi yang kudapat di Internet, rumah makan ini buka jam sepuluh malam.
Entah kenekatan dari mana yang kuhimpun sampai aku berani mencari lokasi rumah makan itu.
Berbekal jaket dan GPS ponsel, aku menyusuri Jalan Masjid Kapitan Keling.
Sesampai di depan Masjid, aku menjadi ragu.
Jalanan di depan sama sepi dan gelapnya.
Baru saja hendak mengurungkan niatku dan kembali berjalan ke hotel, aku menemukan sosok-sosok yang kelihatan sedang mengantri tidak jauh dari tempatku berdiri
Aku pun kembali maju melangkahkan kakiku.
aku menemukannya, tempat yang lebih pantas di sebut kedai ini sudah ramai pengungjungnya, barisan pengunjung juga cukup panjang.
Pantas kedai ini dinamai “Nasi Kandar Beratur” tapi harusnya lebih tepat bila “Nasi Kandar Beratur Alangkah Panjangnya’
***
Aku menatap bingung pilihan makanan- makanan yang terpampang di depanku.
Saking banyaknya pilihan aku sampai bingung ingin memesan apa.
Nasi Kandar layaknya Nasi Padang di Indonesia.
Kebanyakan pilihannya berupa masakan kari.
Namun, sepertinya rasa rempahnya akan lebih kentara, aromanya saja sudah cukup menusuk.
Selesai memesan sekarang masalahnya di mana aku bisa duduk?
Aku mengedarkan mata, ada beberapa meja yang masih kosong, tapi sepertinya tidak akan cukup bila semua orang yang mengantri memesan untuk makan di tempat.
Aku memilih meja untuk dua orang.
Sesaat mataku tertuju pada barisan pengunjung.
Sepertinya aku harus berbagi meja nantinya.
Gawat juga bila berbagi makan dengan pria bertubuh besar dan berwajah brewokan.
Aku bergidik dan segera makan.
Memikirkan hal itu, aku mempercepat suap demi suap makananku.
***
Baru setengah porsi kusantap makanan di depanku, aku melihat siluet orang yang berdiri di depanku.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang pria yang mengedarkan pandangannya di depan mejaku.
Sesaat kemudian ia menatapku.
“Maaf, tapi sepertinya tidak ada kursi kosong lainnya, apa kau keberatan untuk berbagi mejaku denganku?”
Aku terdiam. Segan rasanya memastikan dengan mengedarkan pandangan untuk memastikan tidak ada meja kosong lagi.
Pria berkulit putih itu beraksen bahasa inggris yang bagus.
Membuatku menambahkan nilai plus lainnya dari pengamatan singkatku terhadapnya. Kebiasan buruk.
Aku mengangguk.
Aku memang lebih ingin menikmati makananku seorang diri di meja ini, tapi daripada pria lain, kurasa ia jauh lebih baik.
Well, setidaknya dia cukup tampan dan tidak membuatku takut.
Ia duduk lalu menyantap makanannya.
kami berdua sibuk dengan makanan kami sehingga suasana meja ini jadi aneh.
Akhirnya aku mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk berusaha fokus dengan makanan saja.
Aku meneliti wajahnya sesaat.
Matanya sipit dan alisnya tebal. Warga Negara Malaysia keturunan Tiongkok sepertinya. Atau pelancong sepertiku?
Sesaat aku terkesiap saat ia membalas tatapanku.
Ia tersenyum, “Kau tidak memesan minum?”
“Ah,” ujarku, “Aku membawa minum sendiri.”
Ia kembali tersenyum, dan entah mengapa aku merasa familiar dengan senyum itu, “Kau turis?”
Aku membulatkan mataku, hebat juga ia mengaitkan pertanyaan dengan kesimpulannya ia buat.
“Ya, aku dari Indonesia.”
Ia mengangguk, “Datang untuk berobat?”
Aku terdiam lama, “Tidak.”
Tidak kali ini…
Tak lama, seorang wanita mengantar dua minuman ke meja kami. Salah satunya disodorkan padaku.
Aku menatap bingung, lalu menatap pria asing di depanku.
“Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah mau berbagi meja denganku.”
Aku menatap ragu.
Ia tertawa lalu menukar minumannya denganku.
Ia lalu menyesap minumannya dengan santai.
“Aku tidak bermaksud buruk,” ia tertawa lagi.
Dengan kikuk aku meraih gelasnya yang sekarang menjadi gelasku.
“Terima kasih… Hm…”
“Hm?” ia balas bergumam.
“Ibuku pernah bilang, kalau ingin berterima kasih, paling tidak kau harus tahu nama orangnya,” aku menjelaskan, “Ia mengajari hal itu dari kecil, sehingga hal itu menjadi kebiasaanku. Kau tahu, menanyakan nama.”
Pria itu mengangguk singkat, “Ken,” jawabnya, “Aku dipanggil Ken.”
Aku tersenyum tipis.
Lama kami kembali terdiam sampai aku duluan beranjak dari kursi.
“Aku duluan,” aku menatapnya, “Terima kasih, atas minumannya dan,” aku mengedikkan bahu, “Dan karena sudah menemaniku. Well,” aku meringis, “Aku lebih memilih berbagi meja denganmu daripada dengan pria yang antri di belakangmu tadi.”
Ia menoleh ke arah meja lain dan menemukan orang yan kumaksud. Ia langsung tertawa.
Aku membalas tawanya lalu melambaikan tangan, “Sampai jumpa lagi, Ken…”
Sampai jumpa...
Sampai sekarang aku masih bingung kenapa aku mengucapkan hal itu.
***