Minggu, 13 April 2014


Hari kedua di Penang dan aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.
Kemarin, aku sampai di hotel nyaris pukul empat sore.
Check in, menyantap seporsi kecil Char Koay Teow yang dijual di depan Hotel, kembali bersantai di kamar dan pukul sembilan malam aku kelaparan lagi.
Membaca-baca di internet apa yang bisa mengganjal perutku di jam selarut ini, dan pilihanku jatuh pada Nasi Kandar.
Makanan itu sepertinya terlalu berat, tapi tulisan di blog perjalanan yang kubuka membulatkan pilihanku.

‘Jangan sampai pergi Ke Penang  tapi tidak makan Nasi Kandar.’

Well, aku tidak menyesali pilihan makan malam kemarinku.

Pagi ini aku memutuskan sarapan dimsum. Lagi-lagi di depan hotelku ada kedai dimsum yang sangat ramai pengunjung.  Hotel ini sangat stategis soal makanan.
Sambil menikmati dimsum pilihanku, aku membaca cerita perjalanan ke Goerge Town di internet.

Sempatkanlah ke Burma Line untuk mengunjungi kuil Wat Chaiyamangkalaram.

Aku terkekeh, “Nama kuilnya saja sudah ribet.”
Aku membuka link tersebut dan membaca tulisannya. Tulisan itu membuatku kembali teringat cerita Ibu.

 “Ada patung Budha yang sangat besar di kuil itu. Kata orang, bila kita mengunjungi tempat itu, kita akan seperti berada di Thailand. Kita harus ke sana, nanti.”

Ibu menyebutnya dengan penuh semangat saat itu. Kuil itu, pasti Wat Chaiyamangkalaram.
Aku menutup jendela website dan membuka peta. Sekarang aku tinggal perlu ke Komtar, pusat perhentian bus dan mencari bus yang menuju ke kuil itu.

***

Bus 103! Aku melangkahkan kakiku cepat.
“Aku ingin ke kuil Wat Chaiyamangkalaram,” sebutku sambil membaca tulisannya di layar ponselku.
Dari estimasi jarak yang ditunjukkan Google Map, perjalanan dengan bus akan memakan waktu 1,5 jam. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.
Wat, what?”
Supir bus menatapku bingung.
Temple, Wat Chaiya Temple,” ulangku.

Bukankah itu tempat wisata yang terkenal? Bagaimana supir ini tidak tahu.

“Kuil?” ia menggeleng.
Burma Temple, Budhist Temple.” Jelasku dan ia tetap tidak terlihat mengerti.
Aku memutar bola mataku, sepertinya harus nekat saja, bus ini pasti melewati kuil itu, jadi aku tinggal memasang mat…
Sleeping Budha Temple?” tebaknya.
Aku berpikir sebentar, “Ya!” seruku, “Itu dia.”
“1,4 Ringgit,”lanjutnya.

Setelah memasukkan uang ke dalam kotak, aku memintanya memberitahuku di mana aku harus turun nantinya, “Aku tidak tahu di mana tempat itu berada.”
Supir itu hanya mengangguk tak acuh sambil mengibaskan tangannya menyuruhku masuk.
Bus ini cukup penuh,  tempat duduk yang kosong tersisa ajak jauh di belakang.
“1,5 jam berdiri akan sangat melelahkan,” pikirku.
Tanpa pikir panjang aku menuju kursi itu.

Bus mulai bergerak dengan perhentian yang nyaris 2 menit sekali.
Di perhentian ketiga masuk sekitar delapan orang ke dalam bus.
Apa mereka juga ingin ke Kuil itu?
 “Plaza,” Seorang Bapak-Bapak yang sepertinya kepala rombongan orang-orang itu menyebutkan tujuan mereka, “Plaza Gurney.”
Supir itu segera mengangguk dan menyebutkan harga karcisnya.
Kalau Mall cepat sekali ia tahu.
Aku membuka ponselku lalu mengetik Plaza Gurney di Google Map.

***

Pandanganku tertuju pada jalanan Penang yang dilalui bus 103 ini, 
bangunan-bangunan yang tidak ada modern-modern-nya sangat memanjakan mata ini.
Lima belas menit berlalu dan mataku tertuju pada satu lorong di sebelah kiri. 
Salah satu bangunan di lorong itu cukup tinggi dengan warna keemasan.
Apa mungkin…
Tak lama bus berhenti.
Aku berdiri ragu. Tidak ada yang turun di sini. Aku menatap ke arah supir.
Supir itu hanya melihat lewat kaca spion tengah.
Dia tidak memanggilku. Kurasa bukan itu tempatnya. Ini baru 15 menit. Masih satu jam lagi.
Bus kembali bergerak dan pada hentian kedua, ia mengatakan hal yang membuatku membelalak.

“Plaza Gurney, turun di sini.”

Tidak mungkin! Plaza Gurney?
Lokasi mall itu jelas-jelas lebih jauh dari kuil tujuanku.
Ini bahkan baru 15menit berlalu dari Komtar!
Sekelompok orang tadi langsung bersiap-siap turun. Bapak yang tadi, lagi-lagi berbicara dengan supir, seperti menanyakan ke arah mana mereka harus berjalan.
Tak menunggu lama aku langsung menghampiri supir itu.
Sleeping Budha Temple! Apa sudah lewat?”
Supir itu menatapku tanpa ekspresi.
“Ya, kau harusnya turun dua perhentian sebelum ini.”
Aku menatapnya tak percaya, “Aku memintamu memberi tahuku, tadi.”
“Aku berhenti cukup lama tadi di tempat itu,” belanya, “Lagipula, kenapa kau duduk jauh sekali.”
Aku menggigit bibirku, “Lalu, aku harus bagaimana?”
“Kau bisa turun di sini, jalan ke sana sampai menemukan belokan, kau akan…”
Selagi supir itu menjelaskan, pandanganku tertuju jauh di belakang sana. Jaraknya cukup jauh. Matahari hari ini juga sangat panas.
Aku menatap kesal supir itu. Aku bisa saja tetap di dalam bus dan memilih kembali ke Komtar. Tapi aku tidak punya rencana lainnya. Masa tiduran di hotel sepanjang hari?
Atau… Ke Plaza Gurney saja?
Dengan setengah hati melangkahkan kaki turun, tiba-tiba suara yang pernah kudengar memanggilku.
“Maaf.”
Aku menoleh.
“Ken?”

Sekecil inikah Penang?

***

 Aku kembali duduk di kursi yang tadi kutempati dengan pikiran kosong.
“Bus ini akan melewati jalan yang dekat dengan kuil tujuanmu itu. Tunggulah sebentar lagi. Kalau berjalan dari sini cukup jauh.” Jelas Ken tadi, menahanku untuk turun dari bus.
Supir bus itu, bagaimana bisa ia meyuruhku turun?!
“Dari kapan kau di sini?” aku mendongkrakkan kepala, menatap Ken yang sekarang berdiri di samping kursiku.
“Dari kau naik dari Komtar.”
Aku membelalakkan mata.
“AKu tidak melihatmu.”
“Ya, kau fokus dengan kursi kosong, kemudian terus menatap ke luar jendela. Aku yakin kau juga tidak melihat pria yang duduk di seberang kursimu.”
“Itu kau?”
“Bukan,” ia mengulum senyumnya, “Aku duduk paling belakang.”
“Kau…” aku menatapnya lagi, “Mau ke kuil itu juga?” pria ini tidak seperti pria regilius yang akan berdoa di kuil.
Menyadari tatapan anehku ia tertawa, “Tidak,” ia mengeluarkan ponselnya lalu membuat garis-garis di layar, “Aku akan ke rumah temanku.”
Oh, rumah pacarnya…
Ia mengangkat sebelah alisnya.
“Apa?” tanyaku.
Ia terdiam, “Kau bawa ponsel, kan?”
Aku mengeluarkan ponsel lalu meletakkan pada tangannya yang terjulur.
Entah apa yang membuat pria ini bisa begitu kupercaya. Aku harus hati-hati dengannya.
Aku kembali menatap ke luar jendela sambil tersenyum, menertawakan pikiranku sendiri.
“Ini,” ujarnya sambil mengembalikan ponselku.
Aku menatap layar ponselku dengan dahi berkerut. Ada peta sederhana, gerakan yang ia buat di ponselnya tadi ternyata menggambar peta? “Apa ini? Jalan menuju kuil?” tanyaku kaget. Kalau itu benar, aku masih harus berjalan jauh sekali.
 “Bukan.” Jawabnya tak sabar, “Kau akan menemukan kuil itu dengan sangat mudah saat sampai nanti. Itu rumah temanku.”
Kali ini wajah dengan kerutan dahi mengarah padanya, “Apa?”
“Temanku membuka tempat makan, semacam kafe. Datanglah. Tempatnya memang agak jauh dari kuil. Kau harus menyebrang jalanan ini, kemudian menyusuri lorong di seberang sana, kemudian belok kanan. Persis seperti yang kugambar.”
Aku menekuk bibirku.
“Temanku sangat ahli membuat pancake. Tempat makannya ini terkenal, kau tidak akan menyesal.”
Aku membaca tulisan di bawah peta buatannya.
Crepes Cottage?”
“Ya, itu namanya. Dan itu, nomor ponselku. Hubungi aku bila kau tersesat,” ia terdiam sesaat, “Ah, kita hampir sampai.”
Mendengar ucapannya aku langsung berdiri.
“Di sana ada lorong, kan? Masuk ke lorong itu, kira-kira 100 meter kau akan menemukan kuilnya. Di seberangnya juga ada kuil lainnya, tidak kalah indah. Kau bisa menghabiskan satu-dua jam di dua kuil itu.”
Aku mengangguk, lalu tersenyum.
“Terima Kasih, Ken…,” Tiba-tiba supir bus menginjak rem, dan aku langsung kehilangan keseimbanganku.
“Ah!”
Ken langsung menahan tanganku. Ia menatapku kaget, persis seperti ekspresi wajahku dengan membelalak. 
Aku mengerjapkan mata, “Terima kasih,” ujarku, pada Ken yang masih menahan tanganku.
Ia melepaskan genggaman tangannya dari lenganku, “Pantas kau mencari-cari kursi kosong tadi,” Ia terkekeh membuat wajahku merona malu.
Aku berpaling ke arah spion tengah dan kali ini supir itu menatapku sambil mengangguk. Aku mendengus.
Aku menoleh kembali pada Ken saat mendengar ia mengumamkan sesuatu.
“Apa?” tanyaku sambil mengamati wajahnya.
Ia tersenyum tipis, “Tidak. Aku hanya bilang selamat menikmati waktumu.”
Aku membalas senyumnya, “Baiklah.”
Aku melangkah turun dengan pasti kali ini.
Aku membalikkan punggungku dan berdiri menghadap bus, menengok ke arah Ken. 
Ia hanya tersenyum sambil mengibaskan tangannya.
Aku tertawa. Diam sesaat, aku mengangkat tanganku yang menggenggam ponsel.
“Aku akan ke sana!”
Ia lagi-lagi mengangkat sebelah alisnya.
Crepes Cottage,” ujarku lagi, “Kau, tunggulah aku di sana.”
Ekspresinya berubah.
“AKu akan mentraktirmu minum!” aku segera meluruskan sambil sedikit berteriak, “Aku perlu membalas minumanmu kemarin dan kebaik…” aku membelalakkan mataku, “Ya!!!”
Supir bus tidak tahu diri, bisa-bisanya ia menjalankan bus saat aku belum selesai bicara! Ada apa, sih dengan supir itu!
Aku menatap kesal ke arah bus itu, sosok Ken masih terlihat.
Lihat tawanya, girang sekali.
Aku mendengus, namun ikut tertawa.



Hei, kau lagi-lagi membuat hariku menyenangkan.

The Day We Met



Aku menyusuri Jalan Masjid Kapitan Keling, George Town. 

Masjid Kapitan Keling sudah di depan mata, sekarang tinggal mencari rumah makan terkenal itu.

Ya, George Town, Penang tempatku berada sekarang.

Perjalanan atas  janji yang tak bisa terpenuhi seutuhnya.

***

George town, kota kecil yang menyenangkan.

Baru sampai sore ini dan aku langsung jatuh cinta dengan suasana kota dengan bangunan-bangunan tua yang terawat baik ini.

Ibu benar, kota ini memiliki jerat tak kasat mata bagi pelancongnya.

Belum lagi soal pilihan makanan yang ditawarkan.

Tak sedikit tanggapan yang mengatakan bahwa makanan terenak se-Malaysia ada di Penang.

Dan, di George Town sendiri banyak tersebar rumah makan yang sangat mengundang untuk dikunjungi.

Salah satunya adalah rumah makan Nasi Kandar Beratur yang terletak di Jalan Masjid Kapitan Keling ini.

Dari informasi yang kudapat di Internet, rumah makan ini buka jam sepuluh malam.

Entah kenekatan dari mana yang kuhimpun sampai aku berani mencari lokasi rumah makan itu.

Berbekal jaket dan GPS ponsel, aku menyusuri Jalan Masjid Kapitan Keling.

Sesampai di depan Masjid, aku menjadi ragu.

Jalanan di depan sama sepi dan gelapnya.

Baru saja hendak mengurungkan niatku dan kembali berjalan ke hotel, aku menemukan sosok-sosok yang kelihatan sedang mengantri tidak jauh dari tempatku berdiri

Aku pun kembali maju melangkahkan kakiku.

aku menemukannya, tempat yang lebih pantas di sebut kedai ini sudah ramai pengungjungnya, barisan pengunjung juga cukup panjang.

Pantas kedai ini dinamai “Nasi Kandar Beratur” tapi harusnya lebih tepat bila “Nasi Kandar Beratur Alangkah Panjangnya’

***

Aku menatap bingung pilihan makanan- makanan yang terpampang di depanku.

Saking banyaknya pilihan aku sampai bingung ingin memesan apa.

Nasi Kandar layaknya Nasi Padang di Indonesia. 

Kebanyakan pilihannya berupa masakan kari.

Namun, sepertinya rasa rempahnya akan lebih kentara, aromanya saja sudah cukup menusuk.

Selesai memesan sekarang masalahnya di mana aku bisa duduk?

Aku mengedarkan mata, ada beberapa meja yang masih kosong, tapi sepertinya tidak akan cukup bila semua orang yang mengantri memesan untuk makan di tempat.

Aku memilih meja untuk dua orang.  

Sesaat mataku tertuju pada barisan pengunjung.

Sepertinya aku harus berbagi meja nantinya.

Gawat juga bila berbagi makan dengan pria bertubuh besar dan berwajah brewokan.

Aku bergidik dan segera makan.

Memikirkan hal itu, aku mempercepat suap demi suap makananku.

***

Baru setengah porsi kusantap makanan di depanku, aku melihat siluet orang yang berdiri di depanku.

Aku mengangkat kepala dan melihat seorang pria yang mengedarkan pandangannya di depan mejaku.

Sesaat kemudian ia menatapku.

“Maaf, tapi sepertinya tidak ada kursi kosong lainnya, apa kau keberatan untuk berbagi mejaku denganku?”

Aku terdiam. Segan rasanya memastikan dengan mengedarkan pandangan untuk memastikan tidak ada meja kosong lagi.

Pria berkulit putih itu beraksen bahasa inggris yang bagus. 

Membuatku menambahkan nilai plus lainnya dari pengamatan singkatku terhadapnya. Kebiasan buruk.

Aku mengangguk.

Aku memang lebih ingin menikmati makananku seorang diri di meja ini, tapi daripada pria lain, kurasa ia jauh lebih baik.

Well, setidaknya dia cukup tampan dan tidak membuatku takut.

Ia duduk lalu menyantap makanannya. 

kami berdua sibuk dengan makanan kami sehingga suasana meja ini jadi aneh.

Akhirnya aku mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk berusaha fokus dengan makanan saja.

Aku meneliti wajahnya sesaat. 

Matanya sipit dan alisnya tebal. Warga Negara Malaysia keturunan Tiongkok sepertinya. Atau pelancong sepertiku?

Sesaat aku terkesiap saat ia membalas tatapanku.

Ia tersenyum, “Kau tidak memesan minum?”

“Ah,” ujarku, “Aku membawa minum sendiri.”

Ia kembali tersenyum, dan entah mengapa aku merasa familiar dengan senyum itu, “Kau turis?”

Aku membulatkan mataku, hebat juga ia mengaitkan pertanyaan dengan kesimpulannya ia buat.

“Ya, aku dari Indonesia.”

Ia mengangguk, “Datang untuk berobat?”

Aku terdiam lama, “Tidak.”

Tidak kali ini…

Tak lama, seorang wanita mengantar dua minuman ke meja kami. Salah satunya disodorkan padaku.

Aku menatap bingung, lalu menatap pria asing di depanku.

“Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah mau berbagi meja denganku.”

Aku menatap ragu.

Ia tertawa lalu menukar minumannya denganku.

Ia lalu menyesap minumannya dengan santai.

“Aku tidak bermaksud buruk,” ia tertawa lagi.

Dengan kikuk aku meraih gelasnya yang sekarang menjadi gelasku.

“Terima kasih… Hm…”

“Hm?” ia balas bergumam.

“Ibuku pernah bilang, kalau ingin berterima kasih, paling tidak kau harus tahu nama orangnya,” aku menjelaskan, “Ia mengajari hal itu dari kecil, sehingga hal itu menjadi kebiasaanku. Kau tahu, menanyakan nama.”

Pria itu mengangguk singkat, “Ken,” jawabnya, “Aku dipanggil Ken.”

Aku tersenyum tipis.

Lama kami kembali terdiam sampai aku duluan beranjak dari kursi. 

“Aku duluan,” aku menatapnya, “Terima kasih, atas minumannya dan,” aku mengedikkan bahu, “Dan karena sudah menemaniku. Well,” aku meringis, “Aku lebih memilih berbagi meja denganmu daripada dengan pria yang antri di belakangmu tadi.”

Ia menoleh ke  arah meja lain dan menemukan orang yan kumaksud. Ia langsung tertawa.

Aku membalas tawanya lalu melambaikan tangan, “Sampai jumpa lagi, Ken…”

Sampai jumpa... 

Sampai sekarang aku masih bingung kenapa aku mengucapkan hal itu.

 ***