Senin, 10 November 2014

12 Tahun, dan Cinta


***
Menonton #AADCReunion membuat pikiran saya berkutat pada kekosongan yang terjadi selama dua belas tahun.
Seharusnya ada hal yang membuat jiwa kedua insan itu terikat dan hati yang tertaut jauh oleh jarak itu bersikeras.
Maka, tulisan ini saya buat, setidaknya untuk memuaskan hati ini.
12 tahun, dan Cinta.
***





Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa

Aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku

Karena aku ingin kamu, itu saja.


Karena kata-katamu...
Karena rangkaian kata itu, aku menunggu.
Dalam setiap detik waktu, dalam setiap degup jantung.
Menengadah ke langit, dan berharap pesawat-pesawat itu yang membawamu kembali.
Namun, hampa itu kembali mengusik.
Kamu, tak kunjung kembali.
Seuntai cerita bahkan tak pernah kamu bawa bersama rasa cinta yang ada lewat sebuah surat.

Di mana kamu sekarang.
Apa kabarmu sekarang.
Aku tak tahu harus bertanya pada siapa.
Lewat rajutan rasa ini, aku mencari celah dalam hati.
Kuletakkan perasaan yang berharga itu.
Namun aku tersadar, tak ada lagi celah yang tersisa.
Kamu telah mengisi semua sudut emosi.
Maka kututup semua pintu yang ada.
Hingga tak ada yang dapat menggoyahkannya.
Hingga tak ada yang tahu, bahwa rasa itu tetap hidup dalam sisa-sisa asa yang memudar.


Purnama demi purnama telah berlalu.
Musim demi musim telah terlewati tanpa terasa berarti.
Lalu kau datang dalam sebuah sapaan.
Hanya itu yang kamu ucapkan?
Hanya itu yang kamu pikirkan?
Begitu juga diriku.



Cinta?






Aku pasti akan kembali, dalam satu purnama.
Dalam satu purnama.

Minggu, 17 Agustus 2014

Seoul Lonely



"Lebih baik kita berpisah."
"Ya, lebih baik begitu."
Satu kalimat darimu, dan satu balasan dariku.

Kata-kata yang kita lontarkan dengan suasana hati begitu buruk...
Kata-kata yang kita ucapkan saat air mata mengambang siap terjatuh...
Kata-kata yang membuat kita saling tertegun, diam tanpa kata, lalu meninggalkan satu sama lain dengan rak-rak perasaan yang porak-poranda.
Hati ini tertinggal, dengan serpihan-serpihan cinta yang semakin tajam menusuk.

Apa yang telah kulakukan?
Tiap detik waktu yang kita lalui dengan kepercayaan akan satu rasa yang sama, apa sudah memudar?
Segala tawa yang tercipta, apa sudah tak berguna?

Apa yang telah kulakukan?
Mengapa aku membalas kata-katamu seperti itu?

***

Aku bahkan tidak ingat apa yang membuat kita bertengkar hebat hari itu.
Pertengkaran akan hal kecil yang merubah hari yang kulalui.
Pertengkaran yang membuat kita berpisah.

Kota ini tiba-tiba tak lagi seriuh dahulu.
Suasananya, tak lagi seceria dahulu.
Kucoba melaluinya.
Kuhabiskan waktu bersama sahabat, namun kekosongan itu tetap tak terisi juga.

Aku tahu, bukan kota ini yang berubah...
Hati ini yang menghampa.

Apa yang telah kuperbuat?
Mengapa aku mengucapkan hal bodoh itu?

***

Bukan kebiasaanku melangkahkan kaki tanpa tujuan.
Namun malam ini, aku kembali menyusuri jalan, memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang.
Menyusuri tepian sungai, menatap kelap-kelip cahaya di kejauhan.
Menyusuri pertokoan yang mulai tutup,
dan sepi itu kembali merongrong sudut hati ini.

Setiap langkah yang kuciptakan membawa banyak pikiran dalam benak ini.
Menjadi orang dewasa, mengapa sesulit ini?
Ego, kenapa harus ikut bertumbuh seiring waktu?
Membuat hati dan bibir ini terus bersitegang.
Ingin namun tak terucap.
Tak ingin namun terucap.

Takkah kau pernah berkata,
“Cinta itu sederhana, kita yang membuatnya rumit.”

Sekarang aku menyetujuinya.
Rasaku saat ini sangat sederhana.
Namun, begitu rumit untuk diutarakan...

Kususuri lorong sepi dengan lampu jalan yang bersinar temaram. selangkah demi selangkah.
Langkah itu tiba-tiba terhenti.
Kau kini berdiri di depanku.
Dengan ekspresi yang tak dapat kumengerti.

***

Kau dan aku, berhadapan tanpa kata.
Apa yang membuatmu berada di sini?
Apa karena rasa sepi yang sama?

Pelan, dengan tak kentara kutarik tangan kiriku ke belakang.
Namun aku menemukan bahwa kau menyadarinya.
Tatapanmu pada tanganku, sikapmu.., kau dan perasaanmu, kembali sulit kubaca.

Lama kita tetap diam.
Sama-sama bimbang untuk mengambil tindakan.
Dengan berat kulangkahkan kaki lagi.
Tak ada kata yang mampu terucap.
Maka, kulakukan hal itu...
Berjalan nelewatimu tanpa menoleh.
Saat selangkah kakiku melewati posisimu, kau pun ikut melangkah pergi.

Aku tak bisa melihat jari-jari di tanganmu tadi.
Atau kau sudah melepaskannya?
Apa kau sudah membuang cincin itu?
Tapi aku hanya bisa membiarnya melingkar di jemari.
Kau tahu berapa kali kulempar cincin ini?
Aku membuangnya berkali-kali.
Namun dengan perasaan hancur, kupungut dan kulingkarkan lagi ke jari yang sama.

Jarak kita semakin jauh, dan keheningan semakin pekat  melingkupi.

"Maafkan kata-kataku. Aku tak pernah ingin berpisah... Ketahuilah bahwa aku masih mencintaimu."
Kata-kata itu, bahkan tak bisa kuucapkan sedikitpun.

***

Apa yang kau lakukan dengan gerakan itu?
Berusaha menyembunyikan tanganmu, jari-jarimu?
Tatapanmu saat melihat mataku tertuju pada tanganmu itu..,
apa menyiratkan rasa bersalah?
Kenapa? Kau sudah melepasnya?

Kau tidak terlihat memperdulikan tanganku tadi.
Takkah kau lihat bahwa aku juga mencoba menyembunyikan telapak tangan kiriku?
Aku tidak ingin kau melihat bahwa aku masih menggunakannya.
Ya, cincin itu masih melingkar di tempatnya selama ini berada, berusaha mempertahankan perasaan yang mulai kehilangan arah.

Tapi sepertinya kau tidak memperdulikannya semua itu.
Langkahmu yang kemudian meninggalkanku menguatkan prasangka itu.

Inikah jawabanmu?

Apa cinta itu tak lagi tertinggal di relung hatimu?

Sepi yang melingkupi semakin terasa pekat seiring langkahku yang berlalu pergi,
Menyamakan dengan suara langkahmu yang semakin tak terdengar di belakang sana.


"Aku tidak pernah ingin berpisah... Aku mencintaimu..."
entah mengapa kata-kata itu hanya terkunci di ujung lidah ini

***


Tulisan ini sebenarnya sudah lama saya tulis,bahkan dari awal lagu Seoul Lonely -- sebuah lagu dari boyband Phantom  featuring Gain (Brown Eyed Girl)-- dirilis.tapi karena terkendala margin kiri-kanan (saya males harus buka laptop heheh), baru sekarang bisa saya post J.
Ya, tulisan ini terinspirasi dari lagu tersebut, sebuah lagu dengan harmonisasi suara yang luar biasa, lirik yang dalam dan video yang sangat indah.




Senin, 11 Agustus 2014

My Kind Of Perfect

I was thinking about ya
I drew a little picture
But some things you cant put on paper

Like it like shooting stars?
I write songs on guitar
Got more things to do than stare at a mirror

I know, I know, she's gotta be out there, out there
I know I know she's gotta be.

Maybe I'm wrong
Maybe I'm right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I've known you all my life
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe.

She's anything but typical
A sweet surprise
No matter what, she's looking at the bright side
It's gonna be worth it
Cause that's what love is
I'll keep searching for my kind of perfect

I know, I know, she's gotta be out there, out there
I know, I know, she's gotta be.

Maybe I'm wrong
Maybe I'm right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I've known you all my life
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe.

They say give it time
Give it time, and it will fall in line
But I keep wondering how and when
And why I haven't met you

But maybe I'm wrong
Maybe I'm right
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe.

Maybe I'm wrong
Maybe I'm right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I've known you all my life

Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
Maybe...

I'll keep searching for my kind of perfect.

Lagu David Archuletta yang satu ini selalu membuatku tersenyum tipis.
Dengan mengubah objek lagu, mungkin, ini lagu yang bisa menjawab banyak pertanyaan mengenai... hati.

Ya, i just keep searching for my kind of perfect...

Sabtu, 26 Juli 2014

"Kapan Kamu Terakhir Jatuh Cinta?"

"Kapan kamu terakhir jatuh cinta?"
Kalimat tanya itu tertulis di salah satu blog yang akhir -akhir ini sering kubaca tulisannya.
Aku tertegun.
Menelaah ke dalam hati, dan tidak menemukan jawaban.
Terlalu lama mungkin, hingga hati ini tak bisa menakarnya.

Kadang rindu itu ada.
Rindu atas rasa ingin memiliki yang berbalas dengan rasa ingin dimiliki.
Rasa hampa atas perasaan tanpa balasan ada baiknya disudahi.
Seperti mengetuk pintu yang kamu tahu tak akan terbuka.
Sesesak itu rasanya.

Tapi, kapan kamu tahu bahwa rasa itu akan berbalas?

Lalu, bagaimana kamu menampik rasa takut yang kadang lebih besar dari rasa rindu itu?

"Kapan terakhir kamu jatuh cinta?"
Entahlah.
Bagaimana rasanya, bahkan nyaris terlupakan.

Kamis, 29 Mei 2014

Tentang Cinta

Pernahkah kau menemukan benda yang tak disangka-sangka dapat membuatmu tertawa miris?

Aku menemukannya hari ini.
Saat menunggu di stasiun sepi kala hujan menghampiri.
Ya, rel kereta api.

Kau bertanya kenapa?
Jelas kau menanyakannya.
Karena kau tak pernah berdiri di posisi yang selalu kutempati beberapa musim terakhir ini.

Rel ini, bekerja baik bila bersisian.
Mereka kadang bersinggungan, namun menuju arah yang berbeda.
Lalu kembali bersisian lagi.

Begitulah kita.
selalu bersisian, selalu bersama... juga selalu memiliki jarak.
Tidak akan ada hal baik yang terjadi bila aku sedikit saja melangkah pergi dari sisi itu,
lalu mencoba untuk lebih dekat denganmu.

Hatiku, hatimu dan hatinya...
tentu saja akan tersakiti.

Ah, aku jadi mengingat nasehat seseorang tentang perasaan ini.

Jangan terjebak dengan cinta seperti itu.
Mereka seperti pasir penghisap.
Semakin kau menekannya, semakin kau mencoba untuk lari darinya, semakin ia menjeratmu.
Tidak akan ada jalan keluar.
Kau hanya bisa menunggu...
menunggu apa kau akan tenggelam dalam perasaan tanpa dasar itu,
atau kau akan ditarik keluar oleh cinta yang tidak hanya menjerat...
namun juga terjerat.

Saling menjerat, begitu, kan cinta seharusnya?

Cinta Itu Adalah Aku

Bukan aku yang tidak mengetuk,
Kamu yang tidak membukakanku pintu.


Bukan aku yang bersembunyi entah di mana,
kamu yang tidak membuka matamu.

Bukan aku yang tidak pernah ada untukmu,
Kamu yang membiarkan dirimu menunggu atas cinta yang justru tak tertuju padamu.


Bukan cinta yang tak tercipta,
Tapi hati yang tak ingin tertaut dengannya.


Tak bisakah kamu membuka pintumu, melihatku, dan menemukan bahwa cinta itu adalah aku?


Cinta kepada hati

Minggu, 18 Mei 2014

England, I Am ready For You!


Pertama kali saya tahu kalau Mister Potato membuat lomba berhadiah ke Inggris adalah ketika membaca tweet dari akun @aMrazing. Hadiahnya jelas membuat saya sangat bersemangat mengikuti lomba ini. Syaratnya susah-susah gampang. Membuat cerita dengan tema, 'Mengapa Saya Harus Ke Inggris'.

Dibandingkan menyebutnya mudah, sebenarnya syarat mengikuti lomba ini lebih tepat disebut menyenangkan.
Selain menulis sebuah cerita, peserta lomba juga tidak harus mengumpulkan banyak akun lain yang me-retweet atau me-like status dengan link tulisan kita di Facebook atau Twitter.
Jujur saja, setiap ada lomba dengan syarat pemenang adalah yang paling bayak di-retweet atau di-like, saya sudah nyerah duluan. Pasti kalah soalnya.

Lomba ini menjadi susah, karena..., well, tulisan kita akan dijuri oleh tiga penulis hebat yang bukunya sudah pada laris di pasaran.
Walau susah tapi lomba ini menjadi benar-benar adil dalam penentuan pemenang.
Dan walau susah, hadiahnya tentu terlalu menggiurkan untuk membuat saya menyerah.

memikirkan tentang mengapa saya harus ke London, saya mendapatkan tiga alasan.
Pertama, ya, karena destinasinya Inggris, gratis pula.
Kedua, karena Alexander Thian.
Ketiga, syarat mengikuti lomba.

Untuk alasan pertama, karena destinasinya Inggris.
Sebagai pekerja frontliner di salah satu bank swasta Indonesia, pekerjaan saya berhubungan langsung dengan para nasabah. Sering kali percakapan kami membicarakan tentang destinasi perjalanan yang telah mereka lalui. dari percakapan itu saya sering mendapatkan tanggapan yang sama tentang perjalanan tur ke Eropa mereka. Banyak dari mereka yang memberi kesan yang serupa mengenai Inggris. 
'Inggris yang paling berkesan'
'Inggris yang paling indah'.
'Tur kami kali ini akan ke Inggris lagi."

Karena itulah saya menjadi sangat penasaran dengan negara itu. 
Apa, sih, yang membuatnya begitu memikat?
Dan untuk mengetahuinya, tentu saya harus ke sana.
Siapa sangka kesempatan untuk bisa menapakkan kaki ke sana datang begitu cepat? :D

Untuk alasan kedua, karena Alexander Thian.
Bukan, saya bukan secret admirer, tukang stalker akun twitternya sampai mentok tidak bisa dibaca lagi.
Saya hanya satu dari follower akun twitternya yang kemudian tersesat di akun instagramnya dan sering kali jatuh cinta pada foto-foto perjalanan yang ia bagi.
Sering, proses mencerna foto yang ia bagi adalah : lihat - tiba-tiba sesak napas - like fotonya-mengumpat.
Ya, mengumpat karena kagum dengan kemampuannya.
Dia, si pemilik akun yang judesnya kadang ga ketulungan itu, bagi saya, memang lahir dengan jiwa seni.
Setiap foto memberikan kesan yang dalam, membawa cerita yang indah.
Dan sebagai follower, saya juga sering membaca cerita-cerita perjalanannya yang kadang membuat saya menggelengkan kepala. 
Ada-ada saja yang ia alami. 
Kadang membuat saya tersenyum dan merenung, tidak jarang juga membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. 
Namun, satu yang saya dapatkan dari ayah anak-anak berkaki empat ini, apa pun yang ia alami selalu ia lewati dengan tawa, bahkan untuk hal yang memalukan. 
Karena itu, saya yakin bahwa mendapatkan kesempatan berwisata (ke Inggris pula!) dengan seorang Alexander Thian pasti akan sangat menyenangkan dan menjadi pengalaman yang tak tergantikan.
Jadi, bagaimana bisa saya tidak memasukkannya ke dalam salah satu alasan saya harus ke Inggris kali ini?

Dan yang ketiga, syarat mengikuti lomba.
Menulis.
Baru sekali ini syarat sebuah lomba dengan hadiah yang luar biasa terasa menyenangkan bagi saya.
Walau masih sangat amatir dalam menulis, saya menyukai kegiatan menguntai kata-kata ini.
Selain itu, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa juri yang akan menentukan pemenang lomba ini adalah tiga penulis terkenal.
Bayangkan, seorang Windy Ariestanty, Christian Simamora dan Valian Budi Yogi akan membaca tulisan saya!
Bagaimana bila saya bisa membuat mereka tersenyum karena tulisan saya?
Bagaimana bila mereka menyukai tulisan saya?
Dan, bagaimana bila mereka memilih tulisan saya ini?
Tidak ada penghargaan yang lebih berkesan yang bisa saya terima lebih dari hal itu!


Membahas tentang traveling, sama seperti menulis, saya jatuh cinta dengan kegiatan traveling. Membicarakan tentang jalan-jalan saja sudah membuat saya senang.
Dan saya berjanji, suatu saat akan mengunjungi Inggris, walau saya tidak tahu kapan hal itu akan datang. Keluarga inti saya saja belum pernah ke sana karena biaya turnya yang luar biasa mahal.
Tapi, saya harus ke sana, tidak, saya yakin saya akan ke sana, suatu hari nanti.
Mengunjungi Buckingham Palace, terkagum-kagum dengan interior St. Paul's Catredal, ber-norak ria di Platform 9 3/4 King's Cross, menaiki London Eye, berfoto di depan Big Ben, mengunjungi stadion-stadion megah sambil merasakan antusiasme para pecinta sepak bola dan banyak lagi tempat yang ingin saya jelajahi.
Saya harus ke sana!

Namun, bisa ke Inggris dengan gratis, bersama seorang Alexander Thian, dan juga karena tulisan saya dipilih tiga penulis hebat adalah kesempatan yang hanya datang satu kali ini.
Karena itu, saya sangat-sangat ingin ke Inggris bersama Mister Potato.




Akhir kata, England, i am ready for you! :D





Tidak lupa, terima kasih tentunya, kepada Mister Potato yang sudah menyelenggarakan lomba keren ini!
(   Wah, tulisan saya sudah seperti tulisan pemenang saja... :))   )




Tentu Saja Kita Harus Pergi Bersama-Sama




Aku masih ingat hari itu, di mana kau datang dengan sekantong snack sebagai teman menyambut pergantian tahun.
Salah satunya, snack dengan rasa unik ini.





















Snack dengan rasa yang tidak ada di snack lain, begitu kau menjelaskannya.
Aku juga masih ingat saat kau menanyakan mengapa aku tertawa saat itu.
Aku menolak menjawab.
Terlalu malu saat itu untuk mengakui bahwa aku menyadari satu hal, dan persis dengan snack yang kau bawa itu.
Ya, kau tahu, mengenai rasa yang tidak ada duanya…
Aku juga memiliki rasa yang tidak pernah kutempatkan di relung hati pria lain.
Cinta.

Well, tentu saja semua itu tidak jadi terasa memalukan bila aku tahu malam itu kau menyatakan cinta padaku.


***

Aku tidak mengerti tentang sepak bola. Sedikit pun.
Setiap menonton pertandingan olahraga itu, aku hanya akan semangat di detik-detik bola tengah digiring ke arah gawang.
Walau tidak mengerti olahraga itu, setiap kali menonton pertandingan, tahu-tahu aku sudah dengan semangatnya ikut dalam selebrasi gol. Tidak peduli siapa timnya, aku akan ikut senang bila ada yang mencetak gol.
Akhir-akhir ini aku memang jadi  sering menonton pertandingan bola. Tentu saja karena menemanimu.
Karena terus menemanimu, paling tidak aku mulai tahu sedikit tahu tentang tim sepak bola.
Manchester United, kan? Tim dengan seragam merah itu?
Ah, aku lebih mudah mengingat wajah-wajah tampan pemainnya.
Rooney, kan namanya? Pria dengan senyuman menawan itu.
Kau hanya mendelik setiap kali aku semangat bila kamera mulai menyorot pemain berkulit pucat yang ternyata cukup emosional itu.

“Ada apa? Feromonnya sudah habis?” tanyamu suatu hari, ketika aku tidak antusias saat Rooney menciptakan skor untuk timnya malam itu.
“Aku membaca berita tentangnya tadi siang.Dia selingkuh, kan? Kupikir dia pria baik-baik.Ternyata sama binalnya,”jawabku tanpa ekspresi.
Kau mengedipkan mata berkali-kali, “Bin…”
Tawamu langsung pecah bahkan sebelum kau menyelesaikan kalimatmu.
“Karena itulah aku suka menonton bersamamu, komentarmu sama sekali tidak terduga,” ujarmu disela tawa yang masih tersisa.
Aku melirik dengan bibir tertekuk, kau tengah menyindir, ya? “Aku sudah bilang, aku bukan pecinta sepak bola. Jadi, jangan harapkan komentar yang berhubungan dengan kualitas permainan mereka.”
Aku menatap pria disampingku yang kini tengah menutupi wajahnya, senyum yang masih kelihatan itu membuatku menghela napas, “Lain kali kau menonton dengan Gerald saja, deh.”
Kau mengangkat tangan dari wajahmu. Tawamu kini mereda, “Aku sudah bilang, aku suka menonton bersamamu, kok.”
“Kau tidak terlihat begitu.”
“Kau yang tidak merasakannya.”
Aku terdiam.
“Aku sudah pernah bilang, aku lebih suka menonton pertandingan sepak bola sendirian. Gerald saja mengatakan aku makhluk aneh. Tapi, aku mendapati diriku tidak keberatan saat menonton bersamamu. Sejak pertama menonton bersamamu, aku menikmatinya,” kau terdiam sesaat, “Melihatmu mengikuti bola yang tertendang dari satu kaki ke kaki lainnya dengan bingung, melihatmu menopang dagu dengan tatapan bosan ke arah layar TV, melihat selebrasimu saat gol tercetak, lalu segera bertanya siapa yang mencetaknya… juga melihatmu yang tertidur di sampingku. Well, aku tidak pernah menyangka bahwa kau akan lebih menarik perhatianku daripada pertandingan-pertandingan bola yang ada...”
Kau tersenyum, menyudahi kata-katanya, membuatku terpaku.
“Selama pertandingannya bukan pertandingan penting, sih…” lanjutmu sambil tertawa geli melihatku kembali mendengus.

Karena jawabanmu itulah, aku membuat janji pada diriku sendiri, untuk selalu menemaninya. Bukan hanya dalam menonton pertandingan, tapi dalam apa pun.
Tapi ternyata kebersamaan tidak selalu berlangsung lama.


***

“Suatu hari kita harus merayakan tahun baru di Old Trafford...” gumammu tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel, “Stasion Manchester United.Stasion ini stasion terbesar kedua setelah stasion nasional Inggris,” kau menjelaskan sebelum aku bertanya.
Dan sebelum aku berpikir lebih jauh kemudian berkomentar ,kau sudah melanjutkan kata-kata.
“Setelah itu kita ke Emirates Stadium, Etihad,Anfielf, Stamford bridge, Goodison Park Everton, dan tentunya White Hart Lane. Wah, itu impianku!” lanjutmu semangat.
“Stamford Bridge? Dan apa, White Heart Land? Itu nama pulau? Kedengarannya romantis,” aku menggangguk namun gerakanku langsung terhenti saat aku menemukan ekpresi pria di sampingku ini tengah menahan tawa.
“Ya, Pasti romantis…”  kau menjawab sambil menyodorkan ponselnya padaku. Aku menatap curiga dan menemukan artikel dengan judul ’10  Stadion Sepakbola Terbesar & Termegah di Liga Inggris.
Aku langsung mengerti apa arti senyum yang gagal kau sembunyikan itu.
“Yang benar saja,” protesku setelah mendapatkan jawaban dari dugaanku.Artikel itu menjelaskan segalanya, “Bagaimana dengan Big Ben? Lalu, Buckingham Palace? Tentu saja kita harus naik London Eye!”
 “Tentu saja kita juga akan ke sana. Kita akan berfoto bersama di depan Big Ben, berpelukan di Buckingham Palace, dan berciuman saat kereta London Eye kita berada di puncak, tentu saja itu juga menjadi impianku” jawabmu dengan senyumannya yang khas, “Tapi… Tentu saja kita harus ke semua stadion sepakbola di Inggris dulu,” lanjutmu mengusiliku.
“Kalau begitu, kita pisah jalur saja.”
“Eh, jangan! Tentu saja kita harus pergi bersama-sama. Percayalah kau tidak akan menyesal.”
Aku memicingkan mataku.
Dalam riuh tawamu aku menyetujui.
Bagaimana bisa aku tidak menikmati perjalanan bersamamu?


***


27 Desember 2013.
Pukul 16.00.

Hai Dani, ini surat ketiga yang kutulis untukmu.
Kau belum bosan, kan, membaca celotehanku?

Bulan sudah bergulir ke Desember, lima hari lagi empat digit tahun yang sudah menemani kita selama dua belas bulan ini akan tergantikan.
Seperti Desember-Desember yang lalu, bulan terakhir di tahun ini sama seperti biasanya. Mengundang mendung, membawa hujan, memenjara rasa rindu.

Aku masih tetap merindukanmu, Dani.
Aku juga masih menyesali mengapa di saat itu aku tidak berada di mobil yang sama denganmu, agar maut tidak hanya menjemputmu, tapi juga diriku.
Agar bukan impian-impianmu yang terengut, tapi juga impianku.

Oh, iya, kau tahu kalau teman-temanku mempertanyakan keputusanku? Mereka memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka jelas kesal karena aku tidak bisa ikut acara malam tahun baru mereka di Bali nanti.

"Kenapa harus ke Inggris?
“Harga-harga barang apa pun itu akan mahal, tahun baru, loh!
“ Pas tahun baru, sendirian lagi, tidak takut kesepian?
“Benar, lebih baik ke Bali bersama kami!"

Mereka benar-benar tidak mendukung keinginanku ke Inggris. :D

Ya, aku akan melewati pergantian tahun di sana.

Kau tidak ikut-ikut mereka menentangku, kan?
Aku juga sempat mempertanyakan diri sendiri, apa keputusanku sudah tepat? Apa aku harus ke Inggris?
Tapi, kemudian aku tahu, aku memang harus ke sana.
Setidaknya, sekali ini aku harus memenuhi janji kita berdua yang sudah tak bisa seutuhnya digenapi.
Aku tidak mau suatu hari nanti, saat memiliki kesempatan ke sana, aku justru sudah pergi dengan seorang pria J.

Ya, aku sudah mencoba menerima siklus kehidupan ini.
Pertemuan dan perpisahan.
Kehidupan dan kematian.
Aku akan menjalani hidup dengan baik.
Walau  tak terelakkan, kenangan atas apa yang telah terlewati bisa kita biarkan terus ada, bukan?
Aku tak akan berusaha menghapus kenanganmu lagi.
Toh, aku yakin hati ini, akan cukup lapang untuk membiarkanmu hidup di dalamnya.

Karena itu aku harus ke Inggris.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik awalku untuk kembali melangkah tanpa goyah.
Biarkan perjalanan itu sebagai titik akhirku untuk membuatmu khawatir lagi.
Aku akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, percayalah.
Aku akan kembali menjadi Kana yang dulu.
Karena itu, tersenyumlah di atas sana.



Ps: Hei, kau tidak mengira aku akan melewatkannya segala stadion bola itu, kan?
Kau akan kaget melihatku mengunjungi semua stadion yang kau sebut-sebut dulu!
Kau tidak akan percaya.
Kau sendiri yang bilang kalau aku harus ke sana dan tidak akan menyesal, bukan?
Kita lihat saja nanti.

Dan…
Well, kurasa…
Ya, kurasa Evan cukup mengambil andil untuk menyadarkanku.
Menyadarkan bahwa hidup ini masih sangat indah.
Kau… juga merasa dia pria yang baik, kan?

Baiklah, sampai di sini saja, sampai jumpa!

Sincerenly, Kiara.





“Tentu saja kita harus pergi bersama-bersama!


***


Minggu, 13 April 2014


Hari kedua di Penang dan aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.
Kemarin, aku sampai di hotel nyaris pukul empat sore.
Check in, menyantap seporsi kecil Char Koay Teow yang dijual di depan Hotel, kembali bersantai di kamar dan pukul sembilan malam aku kelaparan lagi.
Membaca-baca di internet apa yang bisa mengganjal perutku di jam selarut ini, dan pilihanku jatuh pada Nasi Kandar.
Makanan itu sepertinya terlalu berat, tapi tulisan di blog perjalanan yang kubuka membulatkan pilihanku.

‘Jangan sampai pergi Ke Penang  tapi tidak makan Nasi Kandar.’

Well, aku tidak menyesali pilihan makan malam kemarinku.

Pagi ini aku memutuskan sarapan dimsum. Lagi-lagi di depan hotelku ada kedai dimsum yang sangat ramai pengunjung.  Hotel ini sangat stategis soal makanan.
Sambil menikmati dimsum pilihanku, aku membaca cerita perjalanan ke Goerge Town di internet.

Sempatkanlah ke Burma Line untuk mengunjungi kuil Wat Chaiyamangkalaram.

Aku terkekeh, “Nama kuilnya saja sudah ribet.”
Aku membuka link tersebut dan membaca tulisannya. Tulisan itu membuatku kembali teringat cerita Ibu.

 “Ada patung Budha yang sangat besar di kuil itu. Kata orang, bila kita mengunjungi tempat itu, kita akan seperti berada di Thailand. Kita harus ke sana, nanti.”

Ibu menyebutnya dengan penuh semangat saat itu. Kuil itu, pasti Wat Chaiyamangkalaram.
Aku menutup jendela website dan membuka peta. Sekarang aku tinggal perlu ke Komtar, pusat perhentian bus dan mencari bus yang menuju ke kuil itu.

***

Bus 103! Aku melangkahkan kakiku cepat.
“Aku ingin ke kuil Wat Chaiyamangkalaram,” sebutku sambil membaca tulisannya di layar ponselku.
Dari estimasi jarak yang ditunjukkan Google Map, perjalanan dengan bus akan memakan waktu 1,5 jam. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.
Wat, what?”
Supir bus menatapku bingung.
Temple, Wat Chaiya Temple,” ulangku.

Bukankah itu tempat wisata yang terkenal? Bagaimana supir ini tidak tahu.

“Kuil?” ia menggeleng.
Burma Temple, Budhist Temple.” Jelasku dan ia tetap tidak terlihat mengerti.
Aku memutar bola mataku, sepertinya harus nekat saja, bus ini pasti melewati kuil itu, jadi aku tinggal memasang mat…
Sleeping Budha Temple?” tebaknya.
Aku berpikir sebentar, “Ya!” seruku, “Itu dia.”
“1,4 Ringgit,”lanjutnya.

Setelah memasukkan uang ke dalam kotak, aku memintanya memberitahuku di mana aku harus turun nantinya, “Aku tidak tahu di mana tempat itu berada.”
Supir itu hanya mengangguk tak acuh sambil mengibaskan tangannya menyuruhku masuk.
Bus ini cukup penuh,  tempat duduk yang kosong tersisa ajak jauh di belakang.
“1,5 jam berdiri akan sangat melelahkan,” pikirku.
Tanpa pikir panjang aku menuju kursi itu.

Bus mulai bergerak dengan perhentian yang nyaris 2 menit sekali.
Di perhentian ketiga masuk sekitar delapan orang ke dalam bus.
Apa mereka juga ingin ke Kuil itu?
 “Plaza,” Seorang Bapak-Bapak yang sepertinya kepala rombongan orang-orang itu menyebutkan tujuan mereka, “Plaza Gurney.”
Supir itu segera mengangguk dan menyebutkan harga karcisnya.
Kalau Mall cepat sekali ia tahu.
Aku membuka ponselku lalu mengetik Plaza Gurney di Google Map.

***

Pandanganku tertuju pada jalanan Penang yang dilalui bus 103 ini, 
bangunan-bangunan yang tidak ada modern-modern-nya sangat memanjakan mata ini.
Lima belas menit berlalu dan mataku tertuju pada satu lorong di sebelah kiri. 
Salah satu bangunan di lorong itu cukup tinggi dengan warna keemasan.
Apa mungkin…
Tak lama bus berhenti.
Aku berdiri ragu. Tidak ada yang turun di sini. Aku menatap ke arah supir.
Supir itu hanya melihat lewat kaca spion tengah.
Dia tidak memanggilku. Kurasa bukan itu tempatnya. Ini baru 15 menit. Masih satu jam lagi.
Bus kembali bergerak dan pada hentian kedua, ia mengatakan hal yang membuatku membelalak.

“Plaza Gurney, turun di sini.”

Tidak mungkin! Plaza Gurney?
Lokasi mall itu jelas-jelas lebih jauh dari kuil tujuanku.
Ini bahkan baru 15menit berlalu dari Komtar!
Sekelompok orang tadi langsung bersiap-siap turun. Bapak yang tadi, lagi-lagi berbicara dengan supir, seperti menanyakan ke arah mana mereka harus berjalan.
Tak menunggu lama aku langsung menghampiri supir itu.
Sleeping Budha Temple! Apa sudah lewat?”
Supir itu menatapku tanpa ekspresi.
“Ya, kau harusnya turun dua perhentian sebelum ini.”
Aku menatapnya tak percaya, “Aku memintamu memberi tahuku, tadi.”
“Aku berhenti cukup lama tadi di tempat itu,” belanya, “Lagipula, kenapa kau duduk jauh sekali.”
Aku menggigit bibirku, “Lalu, aku harus bagaimana?”
“Kau bisa turun di sini, jalan ke sana sampai menemukan belokan, kau akan…”
Selagi supir itu menjelaskan, pandanganku tertuju jauh di belakang sana. Jaraknya cukup jauh. Matahari hari ini juga sangat panas.
Aku menatap kesal supir itu. Aku bisa saja tetap di dalam bus dan memilih kembali ke Komtar. Tapi aku tidak punya rencana lainnya. Masa tiduran di hotel sepanjang hari?
Atau… Ke Plaza Gurney saja?
Dengan setengah hati melangkahkan kaki turun, tiba-tiba suara yang pernah kudengar memanggilku.
“Maaf.”
Aku menoleh.
“Ken?”

Sekecil inikah Penang?

***

 Aku kembali duduk di kursi yang tadi kutempati dengan pikiran kosong.
“Bus ini akan melewati jalan yang dekat dengan kuil tujuanmu itu. Tunggulah sebentar lagi. Kalau berjalan dari sini cukup jauh.” Jelas Ken tadi, menahanku untuk turun dari bus.
Supir bus itu, bagaimana bisa ia meyuruhku turun?!
“Dari kapan kau di sini?” aku mendongkrakkan kepala, menatap Ken yang sekarang berdiri di samping kursiku.
“Dari kau naik dari Komtar.”
Aku membelalakkan mata.
“AKu tidak melihatmu.”
“Ya, kau fokus dengan kursi kosong, kemudian terus menatap ke luar jendela. Aku yakin kau juga tidak melihat pria yang duduk di seberang kursimu.”
“Itu kau?”
“Bukan,” ia mengulum senyumnya, “Aku duduk paling belakang.”
“Kau…” aku menatapnya lagi, “Mau ke kuil itu juga?” pria ini tidak seperti pria regilius yang akan berdoa di kuil.
Menyadari tatapan anehku ia tertawa, “Tidak,” ia mengeluarkan ponselnya lalu membuat garis-garis di layar, “Aku akan ke rumah temanku.”
Oh, rumah pacarnya…
Ia mengangkat sebelah alisnya.
“Apa?” tanyaku.
Ia terdiam, “Kau bawa ponsel, kan?”
Aku mengeluarkan ponsel lalu meletakkan pada tangannya yang terjulur.
Entah apa yang membuat pria ini bisa begitu kupercaya. Aku harus hati-hati dengannya.
Aku kembali menatap ke luar jendela sambil tersenyum, menertawakan pikiranku sendiri.
“Ini,” ujarnya sambil mengembalikan ponselku.
Aku menatap layar ponselku dengan dahi berkerut. Ada peta sederhana, gerakan yang ia buat di ponselnya tadi ternyata menggambar peta? “Apa ini? Jalan menuju kuil?” tanyaku kaget. Kalau itu benar, aku masih harus berjalan jauh sekali.
 “Bukan.” Jawabnya tak sabar, “Kau akan menemukan kuil itu dengan sangat mudah saat sampai nanti. Itu rumah temanku.”
Kali ini wajah dengan kerutan dahi mengarah padanya, “Apa?”
“Temanku membuka tempat makan, semacam kafe. Datanglah. Tempatnya memang agak jauh dari kuil. Kau harus menyebrang jalanan ini, kemudian menyusuri lorong di seberang sana, kemudian belok kanan. Persis seperti yang kugambar.”
Aku menekuk bibirku.
“Temanku sangat ahli membuat pancake. Tempat makannya ini terkenal, kau tidak akan menyesal.”
Aku membaca tulisan di bawah peta buatannya.
Crepes Cottage?”
“Ya, itu namanya. Dan itu, nomor ponselku. Hubungi aku bila kau tersesat,” ia terdiam sesaat, “Ah, kita hampir sampai.”
Mendengar ucapannya aku langsung berdiri.
“Di sana ada lorong, kan? Masuk ke lorong itu, kira-kira 100 meter kau akan menemukan kuilnya. Di seberangnya juga ada kuil lainnya, tidak kalah indah. Kau bisa menghabiskan satu-dua jam di dua kuil itu.”
Aku mengangguk, lalu tersenyum.
“Terima Kasih, Ken…,” Tiba-tiba supir bus menginjak rem, dan aku langsung kehilangan keseimbanganku.
“Ah!”
Ken langsung menahan tanganku. Ia menatapku kaget, persis seperti ekspresi wajahku dengan membelalak. 
Aku mengerjapkan mata, “Terima kasih,” ujarku, pada Ken yang masih menahan tanganku.
Ia melepaskan genggaman tangannya dari lenganku, “Pantas kau mencari-cari kursi kosong tadi,” Ia terkekeh membuat wajahku merona malu.
Aku berpaling ke arah spion tengah dan kali ini supir itu menatapku sambil mengangguk. Aku mendengus.
Aku menoleh kembali pada Ken saat mendengar ia mengumamkan sesuatu.
“Apa?” tanyaku sambil mengamati wajahnya.
Ia tersenyum tipis, “Tidak. Aku hanya bilang selamat menikmati waktumu.”
Aku membalas senyumnya, “Baiklah.”
Aku melangkah turun dengan pasti kali ini.
Aku membalikkan punggungku dan berdiri menghadap bus, menengok ke arah Ken. 
Ia hanya tersenyum sambil mengibaskan tangannya.
Aku tertawa. Diam sesaat, aku mengangkat tanganku yang menggenggam ponsel.
“Aku akan ke sana!”
Ia lagi-lagi mengangkat sebelah alisnya.
Crepes Cottage,” ujarku lagi, “Kau, tunggulah aku di sana.”
Ekspresinya berubah.
“AKu akan mentraktirmu minum!” aku segera meluruskan sambil sedikit berteriak, “Aku perlu membalas minumanmu kemarin dan kebaik…” aku membelalakkan mataku, “Ya!!!”
Supir bus tidak tahu diri, bisa-bisanya ia menjalankan bus saat aku belum selesai bicara! Ada apa, sih dengan supir itu!
Aku menatap kesal ke arah bus itu, sosok Ken masih terlihat.
Lihat tawanya, girang sekali.
Aku mendengus, namun ikut tertawa.



Hei, kau lagi-lagi membuat hariku menyenangkan.