Kepada Siapa pun Dirimu
http://m.flickr.com/#/photos/lsydney/4668321879/sizes/m/
Aku berjalan terburu-buru ke arah peron kereta.
Ah, kereta sudah berlalu
jauh.
Aku memperlambat langkahku, rasanya kesal sekali sudah
mengerahkan tenaga yang ternyata sia-sia. Ketika ingat kalau aku akan
kelewatan siaran pertandingan bola karena terlambat sampai di kos, aku
semakin tidak bersemangat.
Sesaat pandanganku bertemu dengan seorang
wanita berwajah Asia berdiri sendiri dengan payung yang terbuka.
Ia tersenyum singkat
lalu memalingkan wajahnya.
Tanpa sadar aku ikut menarik sedikit ujung
bibirku.
Kami berdiri bersebelahan hingga aku memutuskan untuk duduk di
kursi tunggu yang sudah disediakan.
Kukeluarkan ponselku, beberapa saat aku mengutak-atik ponsel itu tanpa tujuan lalu melepaskan
pandangan dari layar.
Aku mengedarkan pandanganku dan lagi-lagi tertuju
pada wanita dengan payung itu.
Ia tidak juga duduk.
Sekarang ia bahkan
berdiri di ujung peron, membuatku sempat berpikir ia akan bunuh diri.
Ia
lalu meluruskan lengannya sampai telapak tangannya bisa merasakan
rintik hujan yang jatuh dari langit.
Bulan ini memang bulan penuh hujan bagi kota Sydney,
rasanya tiada hari tanpa melihat jalanan dibasahi oleh air yang turun
dari langit.
Wanita berambut panjang itu memakai coat hitam yang tentunya berlengan panjang. Sosoknya
seakan menyatu dengan peron yang memang tidak begitu berwarna ditambah
lagi dengan mendung dan gerimis yang melingkupi.
Tiba-tiba wanita itu
tersenyum sambil mengangkat tangannya yang ternyata baru mengambil
ponsel dari saku.
"Aku baru saja menebak-tebak kapan kau akan
meneleponku," ujarnya sambil tertawa.
Suaranya tidak begitu lantang
namun karena peron yang sepi membuatku bisa mendengar percakapannya dibalik gemerisik rintik hujan.
Sesaat ia menyapa seseorang di ujung sambungan dengan Nii-chan,
panggilan untuk kakak laki-laki. Mereka berbicara seru, menciptakan
dunianya sendiri, saling melontarkan candaan dan sesekali menanyakan
kabar dan cerita.
Kurasa wanita itu tidak akan menyangka pria yang ada di dekatnya ini mengerti bahasa Jepang, buktinya ia tidak memperkecil suaranya.
Aku semakin merasa tidak enak karena kesannya terlalu menguping, walaupun korbannya tida menyadari.
Tak lama wanita itu terdiam, senyum masih terukir di
wajahnya.
Ia lalu menunduk, memainkan kakinya lalu mengatakan sesuatu
yang membuatku terpaku.
"Kenapa harus menunggu ada yang ingin
diceritakan baru menghubungiku? Mendengar sapaan halo darimu saja sudah
cukup bagiku."
Kata-katanya seperti menamparku.
Apa masalah setiap pria
dalam memulai pembicaraan lewat ponsel atau semacamnya memang seperti
itu?
Kenapa harus menunggu ada cerita baru menghubungi seseorang?
Aku
menatap ponselku. Aku menghela napas sesaat sambil tersenyum.
Aku mau
saja tertawa, menertawakan diriku yang secara tidak langsung dinasehati
bahkan oleh orang yang tidak kukenal.
Kugerakkan jariku di atas layar
ponsel, tak lama tampilan ponsel pun berubah.
tak perlu menunggu lama, aku akhirnya menyapa suara di ujung sambungan,"Hai, Ibu."
kusapa suara beribu-ribu kilometer jauhnya, yang ternyata sangat kurindukan,"Apa kabarmu?"
Peron yang sepi, seorang
pria dan wanita, dan sambungan telepon jarak jauh. Kami melempar rindu
dan membiarkan cerita tercipta sendiri.
Keteledoran waktu yang berakhir
menyenangkan.
Terima kasih, siapa pun namamu, atas pelajaran yang tanpa
sadar kau berikan.
Elbert yang Kukenal
"Hai Nona Kecil, bagaimana kabarmu?"
Aku membaca chat yang masuk ke
ponselku sambil tersenyum tipis. Kau yang sekarang, masih saja
memanggilku nona kecil, panggilan yang kita buat saat bermain putri dan
pengawalnya saat kecil dulu.
"Aku selalu baik setiap mendengar kabar
baikmu. Bagaimana denganmu? Persiapannya sudah kelar?" Balasku.
"Hm..."
"Hm?"
"Sudah, sih. Tapi entah kenapa aku masih merasa tidak tenang
hahah." Lama aku tidak membalas hingga kau kembali melanjutkan chat kita, "Ternyata pre married syndrome tidak hanya dialami wanita
hahah."
"Kau harus menemui psikiater sepertinya."
"Hei!"
"Hahah." Lucu,
aku menulis kata yang menunjukkan tertawa tapi senyum saja tidak bisa
kutunjukkan sekarang.
"Hei, Lana."
"Ya?"
"Aku masih penasaran satu hal."
"Apa itu?"
"Tentang... Elbert yang kau kenal."
"Huh?"
"Kau bilang kau
mengenal banyak Elbert dalam hidupmu, kan?"
Aku ingat pernah megatakan hal itu. Kukatakan saat ia mengatakan padaku bahwa hanya ada satu Lana
yang ia panggil nona kecil di dunia ini.
"Setahuku, kau tidak punya
teman lain yang bernama Elbert kecuali aku..." Lanjutnya.
"Ya,
begitulah. Aku hanya ingin membalas kata-katamu saja waktu itu."
Lama
aku menata kata-kata hingga hanya jawaban klise seperti itu yang terangkai.
Apa aku bisa
menjawabmu?
Menjawab bahwa ada Elbert teman kecilku yang pernah
membuatku menangis karena menyembunyikan boneka teddy bearku,
Elbert
kecil yang pernah memetik bunga mawar neneknya untuk diberikan sebagai
kado ulang tahun untukku, kemudian dihukum berdiri di pojok ruangan.
Ada
Elbert remaja yang menjemputku pulang les piano dan membawakanku payung
agar aku tidak pulang kehujanan.
Ada Elbert dewasa yang memainkan gitar
untuk menghiburku yang berduka ditinggal mati Jojo, kucing kesanyanganku,
Kemudian ada Elbert yang
selalu membuatku tersenyum dengan mudah karena lelucon garingnya, Elbert yang
gampang khawatir, Elbert yang mudah tertidur, dan gaya tidurnya jelek
sekali, Elbert yang membuatku berdebar-debar, Elbert yang tahu-tahu sudah membuatku
jatuh cinta...
Bagaimana aku bisa menjawabmu, bahwa semua Elbert yang
kukenal itu hanya satu, kau.
Bagaimana bisa aku mengatakannya bila tiga
hari lagi kau akan menikah dengan wanita yang sangat kau cintai itu?
Lamunanku terhenti oleh nada notifikasi dari ponselku.
"Dasar. Kau
membuatku berpikir keras untuk itu. Hei, jangan-jangan itu yang
membuatku tidak tenang. Oh iya, kau mungkin bosan karena terus
kuingatkan, tapi, jangan lupa untuk datang ke acara pernikahanku nanti,
ya! Aku tidak segan-segan menghubungimu kalau aku tidak juga melihatmu.,
kalau perlu akan kujemput hahah. Aku menghilang dulu, ya. Mau menjemput
Alice."
Senyum lebarmu kembali terbingkai di pikiranku.
Ada satu
kala, saat aku berpikir hendak menyatakan perasaan ini. Saat kau yang
telah 15 tahun menjadi tetanggaku akhirnya akan pindah rumah. Saat kau
berniat melanjutkan kuliahmu ke jenjang S2 dan ibumu akhirnya memutuskan
menjual rumah itu dan membeli yang lebih kecil.
Aku ingat bagaimana kau
sangat tidak setuju sampai berniat membatalkan rencanamu.
Dan aku ingat
bagaimana ketakutanku memuncah karena akan kehilangan sosokmu.
Namun, saat
kata-kata itu hampir keluar dari mulutku, kau justru sudah menetapkan
perasaanmu untukku.
"Lana, kau tahu. Rasanya susah mencari seseorang
yang bisa menggantikan keberadaanmu bagiku. Ibu pernah bilang, kita berdua seperti kakak-adik. Saat ia hamil
dulu, aku sangat mengharapkan adik perempuan. Sayangnya ia keguguran. karena itu Ibu juga seudah menganggapmu seperti anaknya sendiri. perpisahan ini, selain berat untukku, pasti juga berat untuknya. Tapi, kurasa, dibandingkan
menganggapmu adik, kau lebih tepat ditempatkan sebagai teman terbaik bagiku. Just like
a soulmate, right? Seperti itulah berharganya kau bagiku, karena itu
Aku tidak akan pernah berhenti menghubungimu nanti. Aku berjanji
hubungan kita tidak akan terputus. Dan percayalah ini hanya perpisahan
kecil, tapi untuk segalanya, maaf dan terima kasih."
Untuk segalanya,
aku memaafkanmu.
Dan untuk segalanya aku juga berterima kasih padamu.
Satu hal, maafkan aku, di hari berhargamu itu, aku mungkin tengah
tertidur dalam penerbangan menuju London.
Ya, akhinya aku mengikuti kata-katamu, untuk mengejar cita-citaku menjadi pianis terkenal di
sana.
Semoga aku berhasil di sana, ya. Juga semoga agar aku bisa menemukan serpihan kebahagiaan lain yang
mungkin ditinggalkan Tuhan di hati seseorang untukku di sana. Sampai jumpa, suatu saat
nanti.
Tidak ada yang tahu apa ini perpisahan kecil lainnya atau bukan,
kan?