Malam Ke Empat, Gelas Ke Empat, dan Senyuman Pertama
Aku sudah
memperhatikannya lebih dari tiga puluh menit.
Ia lagi-lagi
duduk sendiri, memesan segelas bir namun tidak segera meminumnya.
ia hanya
membiarkan satu telapak tangannya menggenggam gelas bir itu,
sedang
tatapannya kosong, pikirannya entah sedang di mana sekarang.
Tatapan kosong
itu, membuat sosoknya seakan terpisah dari hiruk pikuk bar ini. Ia diam seakan
tak terusik oleh kehingar-bingaran musik yang menghentak para pengunjung.
Aku menilik
wajahnya.
Jarak duduk kami yang bersebelahan membuatku mudah untuk memperhatikan wajah tampannya.
Jarak duduk kami yang bersebelahan membuatku mudah untuk memperhatikan wajah tampannya.
Hal pertama
yang kulihat adalah garis rahangnya yang tegas.
Ketika ia
menoleh sesaat, ketemukan alisnya yang tebal dan bola matanya hitam.
Gelap dan
dalam, seakan menyimpan banyak rasa dan cerita.
"Kau
kelihatan tidak menikmati malammu," ujarku, pada akhirnya.
Terlalu gerah
dengan keheningan yang ia ciptakan, yang tiba-tiba
ikut menyelubungi diriku akhir-akhir ini.
Ia menoleh
sedikit, menatapku sesaat lalu tersenyum tipis.
"Sepertinya
kau mencari keramaian di sini..." Kataku saat ia akhirnya meneguk
minumannya, walau sedikit.
"Dan aku
tidak juga menemukannya."
Ia menatapku lurus kali ini, seakan ingin
berkata "Begitu menurutmu, kan?"
Aku terkesiap.
Bila sedari tadi aku yang terus menatapnya, kali ini dia
mengubah kedudukan, membuatku membuang muka.
Ia kembali
menyelami dunianya lagi.
Mata itu, lagi-lagi terlalu dalam untuk
dimengerti.
"Ada
seseorang yang kau tunggu?" Tanyaku, entah mengapa.
Ia kelihatan
sedikit terkejut, "Begitulah."
"Ia tak
juga datang?"
"Hm"
jawabnya dengan nada yang cukup panjang.
"Kenapa
tidak kau hubungi saja, mungkin dia lupa."
Baiklah, aku
sudah terlalu ikut campur, tapi aku tidak bisa membuang rasa penasaranku.
Pria ini,
entah mengapa begitu menarik perhatian, dengan segala perilakunya.
"Dia
tidak akan datang," ia tersenyum tipis, "dan aku tidak dapat
menghubunginya. Tidak ada alasan, hanya, itu tidak mungkin kulakukan."
Jelasnya
sebelum aku kembali bertanya.
Jeda lama,
membawa kekikukkan bagiku, sampai ia membuka sebuah cerita yang membuatku
terdiam,
"Dia,
orang itu akan menikah minggu depan. Dengan pria yang telah ia cintai selama
empat tahun. Aku tahu ia memendam rasa itu, tapi aku tetap nekad untuk mendekatinya,
dalam keadaan sebagai teman."
Ia bercerita
dengan begitu ringan, seakan itu tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri.
Dan semenit
kemudian aku sudah terhanyut dengan ketulusan dalam ceritanya.
"Semakin
aku mendekat, semakin aku mengetahui seberapa besar rasa cintanya pada pria
itu, rasa sakit yang kupupuk pun tumbuh subur."
Kali ini ia
meneguk minumannya lebih banyak.
"Dulu,
ketika ia memiliki masalah dengan harinya, perasaannya, ia akan datang ke sini.
Memesan segelas bir dan baru akan menghabiskannya dua-tiga jam kemudian. Dan di
saat seperti itu aku akan duduk di sampingnya, dalam keheningan. Membiarkan ia
merapikan rak-rak perasaan di hatinya."
Pria itu
menyunggingkan senyumnya dengan alis yang terangkat sebelah, "Dalam hati
aku sering heran. Apa yang ia lakukan? Duduk gelisah di bar yang ramai, dengan
segelas bir yang tak lama lagi akan mulai kehilangan rasa karena esnya akan
mencair. Memangnya itu akan menyelesaikan masalahnya? Tapi, sekarang aku
melakukan hal yang sama."
Ia mencoba
jenaka, namun gagal setidaknya bagiku.
Ia tidak bisa
menyembunyikan luka itu.
"Dan kau
berharap dia ada di sampingmu, sebagaimana yang selalu kau lakukan
untuknya," ujarku yang segera kusesali.
Tidakkah aku
seperti tengah menabur garam di atas luka hatinya?
Ia terdiam. menatapku lalu memiringkan kepalanya, "Ya."
Jawabnya singkat membuatku tertegun dengan kejujurannya.
Aku kehilangan
kata-kata dan ia pun kembali diam.
Kami,
sama-sama menatap gelas di hadapan kami tanpa tujuan.
"Tapi,"
ujarnya tiba-tiba, membuatku langsung menoleh ke arahnya.
"Malam ini
sedikit berbeda." Ia tersenyum ke arahku.
"Malam ini tidak sesunyi
malam sebelumnya. " ia lagi-lagi menyunggingkan senyumnya yang tinggi
sebelah.
Aku tersenyum, "Oh, aku
minta maaf bila ternyata ada seseorang yang kebetulan duduk di sampingmu, dan
kebetulan juga orang itu sangat berisik dan ingin tahu," ujarku pura-pura
tersinggung.