Sabtu, 09 November 2013


Malam Ke Empat, Gelas Ke Empat, dan Senyuman Pertama








Aku sudah memperhatikannya lebih dari tiga puluh menit.

Ia lagi-lagi duduk sendiri, memesan segelas bir namun tidak segera meminumnya.
ia hanya membiarkan satu telapak tangannya menggenggam gelas bir itu,
sedang tatapannya kosong, pikirannya entah sedang di mana sekarang.
Tatapan kosong itu, membuat sosoknya seakan terpisah dari hiruk pikuk bar ini. Ia diam seakan tak terusik oleh kehingar-bingaran musik yang menghentak para pengunjung. 

Aku menilik wajahnya.
Jarak duduk kami yang bersebelahan membuatku mudah untuk memperhatikan wajah tampannya.
Hal pertama yang kulihat adalah garis rahangnya yang tegas.
Ketika ia menoleh sesaat, ketemukan alisnya yang tebal dan bola matanya hitam.
Gelap dan dalam, seakan menyimpan banyak rasa dan cerita.

"Kau kelihatan tidak menikmati malammu," ujarku, pada akhirnya.
Terlalu gerah dengan keheningan yang ia ciptakan, yang tiba-tiba ikut menyelubungi diriku akhir-akhir ini.
Ia menoleh sedikit, menatapku sesaat lalu tersenyum tipis.

"Sepertinya kau mencari keramaian di sini..." Kataku saat ia akhirnya meneguk minumannya, walau sedikit.
"Dan aku tidak juga menemukannya."
 Ia menatapku lurus kali ini, seakan ingin berkata "Begitu menurutmu, kan?"
Aku terkesiap. Bila sedari tadi aku yang terus menatapnya, kali ini dia mengubah kedudukan, membuatku membuang muka.
Ia kembali menyelami dunianya lagi.
Mata itu, lagi-lagi terlalu dalam untuk dimengerti.

"Ada seseorang yang kau tunggu?" Tanyaku, entah mengapa.
Ia kelihatan sedikit terkejut, "Begitulah."
"Ia tak juga datang?"
"Hm" jawabnya dengan nada yang cukup panjang.
"Kenapa tidak kau hubungi saja, mungkin dia lupa."

Baiklah, aku sudah terlalu ikut campur, tapi aku tidak bisa membuang rasa penasaranku.
Pria ini, entah mengapa begitu menarik perhatian, dengan segala perilakunya. 

"Dia tidak akan datang," ia tersenyum tipis, "dan aku tidak dapat menghubunginya. Tidak ada alasan, hanya, itu tidak mungkin kulakukan."
Jelasnya sebelum aku kembali bertanya.

Jeda lama, membawa kekikukkan bagiku, sampai ia membuka sebuah cerita yang membuatku terdiam,

"Dia, orang itu akan menikah minggu depan. Dengan pria yang telah ia cintai selama empat tahun. Aku tahu ia memendam rasa itu, tapi aku tetap nekad untuk mendekatinya, dalam keadaan sebagai teman."
Ia bercerita dengan begitu ringan, seakan itu tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri.
Dan semenit kemudian aku sudah terhanyut dengan ketulusan dalam ceritanya.
"Semakin aku mendekat, semakin aku mengetahui seberapa besar rasa cintanya pada pria itu, rasa sakit yang kupupuk pun tumbuh subur."
Kali ini ia meneguk minumannya lebih banyak.
"Dulu, ketika ia memiliki masalah dengan harinya, perasaannya, ia akan datang ke sini. Memesan segelas bir dan baru akan menghabiskannya dua-tiga jam kemudian. Dan di saat seperti itu aku akan duduk di sampingnya, dalam keheningan. Membiarkan ia merapikan rak-rak perasaan di hatinya."
Pria itu menyunggingkan senyumnya dengan alis yang terangkat sebelah, "Dalam hati aku sering heran. Apa yang ia lakukan? Duduk gelisah di bar yang ramai, dengan segelas bir yang tak lama lagi akan mulai kehilangan rasa karena esnya akan mencair. Memangnya itu akan menyelesaikan masalahnya? Tapi, sekarang aku melakukan hal yang sama."
Ia mencoba jenaka, namun gagal setidaknya bagiku.
Ia tidak bisa menyembunyikan luka itu.

"Dan kau berharap dia ada di sampingmu, sebagaimana yang selalu kau lakukan untuknya," ujarku yang segera kusesali.
Tidakkah aku seperti tengah menabur garam di atas luka hatinya?

Ia terdiam. menatapku lalu memiringkan kepalanya, "Ya." Jawabnya singkat membuatku tertegun dengan kejujurannya.
Aku kehilangan kata-kata dan ia pun kembali diam.

Kami, sama-sama menatap gelas di hadapan kami tanpa tujuan.

"Tapi," ujarnya tiba-tiba, membuatku langsung menoleh ke arahnya. 
"Malam ini sedikit berbeda." Ia tersenyum ke arahku. 
"Malam ini tidak sesunyi malam sebelumnya. " ia lagi-lagi menyunggingkan senyumnya yang tinggi sebelah.

Aku tersenyum, "Oh, aku minta maaf bila ternyata ada seseorang yang kebetulan duduk di sampingmu, dan kebetulan juga orang itu sangat berisik dan ingin tahu," ujarku pura-pura tersinggung. 


Setelah empat malam melihatnya duduk dalam diam, dan pulang tanpa terlihat berhasil menghilangkan kabut di hatinya, malam ini akhirnya aku melihatnya tertawa.


Jumat, 08 November 2013




Kamu dan Pohon, yang Teguh dalam Kesendirian







Aku menemukan pohon ini saat aku berkunjung ke Sumba.
Ya, itu jawaban cafe yang menjadi tempatmu melarikan diri setiap Sabtu sore dari hingar bingar kehidupan ibukota itu tutup.

Guess what?
Aku lagi-lagi teringat padamu.
Ya, pohon itu mirip denganmu, bukan?
Teguh dan tenang dalam kesendirian.

"Apa yang telah membuatmu tegar dalam kesendirian itu?"
"Apa yang telah membuatmu menutup erat celah di hatimu?"
Tanpa sadar aku berbisik, berucap lirih pada pohon itu.
Gerald temanku, sampai menertawaiku.

Sama seperti saat itu, kali ini aku juga tidak mendapat jawaban. 

Mungkin aku hanya hadir dengan serpihan cinta, 
Yang bahkan tak bisa menembus ke dalam relung hatimu...
Namun, tak bisakah kehadiranku setidaknya menjadi sesuatu yang berarti, 
walau hanya sedikit? 

Bolehkah aku berharap bisa membuatmu tersenyum bahagia?
Sama seperti saat pertama kali kau mencicipi capuccino buatanku?
Lalu sama seperti saat itu,
Membuatmu berbisik lebih pada diri sendiri bahwa inilah yang selama ini kau cari-cari?
Membuatmu tersenyum tipis 
sama seperti saat kau menemukan kursi favorit di sudut cafe belum diduduki siapa pun?
Aku hanya ingin menjadi seperti alasan kecil itu,
asal bisa membuatmu tersenyum

Aku akan berdiri jauh darimu, bila itu keinginan-mu.
Keinginanmu untuk mempertahankan kesendirian.
Aku akan menjaga jarak, Seperti halnya pohon lainnya di foto ini.
tapi yakinlah, aku akan selalu ada di dekatmu.
Aku akan hadir saat kau menemukan kegetiran dalam kesendirianmu itu.

Aku akan selalu ada

Dan akan selalu menunggu.



Evan
Teruntuk gadis pecinta cappucino yang selalu menatap sendu pada langit mendung.


Senin, 04 November 2013

Remembering You...





















http://instagram.com/p/f43OK8mnOP/


Hei, Dani. 
Masih ingat, tepat hari ini, setahun yang lalu kita bertemu?
Saat aku dengan kameraku, begitu juga dengan dirimu,
Tanpa direncanakan kita saling mengarahkan kamera ke masing-masing dari kita. 

Seperti sihir yang diciptakan padang ilalang ini,
kita saling tersenyum dan melempar tawa bersama. 
Dan tampaknya ibu peri ladang ilalang ini tengah berbaik hati. 
Sihirnya tak hanya bertahan dalam satu malam. 

Dua musim kita lewati bersama. 
Sampai aku yakin kita tak akan terpisah. 
Tapi, sihir sang peri memang harus berakhir 

Apa kabarmu di sana? 
Kuharap sama baiknya denganku. 

Ya, aku masih sering merutuki nasib yang membawa cerita kita seperti ini. 
Merutuki waktu yang enggan membawa kita bersama lebih lama. 
Bahkan merutuki Tuhan yang begitu cepat ingin bertemu kembali dengan salah satu malaikat-Nya. 

Tapi, aku sudah bisa tersenyum. 
Kurasa kau tahu itu. 
Karena itu kau tidak perlu khawatir lagi.


Ps: Padang ilalang ini masih sama seperti tahun kemarin, 
begitu juga dengan hatiku... 
Masih jatuh pada hati yang sama 
walau tak dapat untuk diraih lagi.

Hello world.

Sebenarnya uda dari lama banget pengen buat blog...
sekarang baru kesampaian :))
iyah, emang, telat banget.