Selasa, 24 Januari 2017

Dua Puluh Lima

Seperempat abad, Bok!
*langsung berasa tua*

Menyapa dua puluh empat Januari untuk ke dua puluh lima kalinya, masih seperti dua puluh empat Januari sebelumnya. 
Biasa aja.
Ya,  begini lah kehidupan(ku).
Biasa-biasa aja.
Hanya ada beberapa pemanis berupa hadiah dari teman,  beberapa kosmetik hasil belanja (kalap) sebagai hadiah untuk diri sendiri,  dan si Thea yang sekarang tiba-tiba tidur di atas badan.
Tumben manja nih anak.

Ngomongin soal 'biasa-biasa aja',  jadi mikir,  sebenarnya apa indikatormu sih,  Stell, supaya hidup ga 'biasa-biasa aja'?
Punya pasangan? Pindah kerjaan? Pindah kota? Bisa nolongin semua anjing kucing terlantar kelaparan di luar sana? Punya banyak teman seru yang suka party till the midnight,  gitu?
Toh selama ini,  ga pernah ngelakuin hal yang menuju ke sana.
Jadinya,  ya,  beginilah kehidupan.

Karena itu,  lagi-lagi sebagai pengingat yang dilakukan tiap akhir tahun dan di tanggal ulang tahun,  i keep telling this to myself,
'nikmati saja kehidupanmu, Stella.'

Do the best,  the right things you can.
Kurangi egomu,  kurangi sikap egoismu, permanis kelakuanmu.
Walau berat,  walau harus ada pengorbanan-pengorbanan dalam setiap langkah yang diambil,  nikmati saja.
Toh sumber kebahagian adalah bersyukur.
Dan,  ada saatnya,  pengorbanan pedih itu akan berakhir.

Happy birthday,  myself.
The same me,  the old me.


Minggu, 08 Mei 2016

Setengah Lingkar Bumi

'Mengapa aku harus mengelilingi setengah lingkar bumi untuk menemukan seseorang yang mencintaiku sepenuh hati padahal orang itu selama ini ada di dekatku?'

Andai kau Gloria dan aku Melman...
Karena kita tidak bersama di setengah belahan bumi lainnya, akankah kau mengelilingi kembali setengah lingkar bumi?
Kembali ke titik semula untuk menemuiku?

***

Apa yang kulakukan?
Aku mempertanyakan keputusanku di saat hal itu tidak dapat ditarik kembali.
Ditambah beberapa kata umpatan pada diri sendiri, aku membetulkan posisi dudukku.
Berpuluh-puluh pertanyaan retorik terus memenuhi isi kepala selama aku memandang keluar jendela yang basah oleh titik-titik hujan.

Kau gila, ya?
Kau tidak tahu apa yang kau lakukan?
Apa yang kau harapkan?
Kau tahu, kan apa yang akan kau hadapi?

Pada akhirnya kata-kata di e-mail terakhirmu memenangi pergulatan perasaan ini.

Kulakukan juga perjalanan ini.
Perjalanan panjang untuk menemui kau yang selama ini tanpa sadar telah menawan sepotong kecil hati ini.
Sepotong kecil yang berisi sebuah kunci di dalamnya.
Dan mungkin juga sebuah remot AC ruang hati ini.
Aku menyetel suhunya terlalu rendah saat kau pergi.

Kulakukan juga perjalanan setengah lingkar bumi ini, hanya untuk mengucapkan selamat atas pernikahanmu.

'Aku benar-benar mengharapkan kehadiranmu.'


Ya, setidaknya pada akhirnya kau menginginkan kehadiranku.


Minggu, 24 Januari 2016

Dua Puluh Empat

Aku tidak pernah menganggap hari lahir adalah hari spesial, sejak beberapa tahun terakhir.
Entah sejak kapan, tidak ada kue, tidak ada pesta, bahkan senyum sumringah pun tidak ada.
24 Januari ini menjadi hari biasa, seperti 365 hari lainnya di tahun ini.
Mungkin karena tidak ada perayaan spesial, tidak ada hal spesial yang perlu dirayakan.
Adanya bertambah tua.
Lalu, pertanyaan dari diri sendiri menyentil.
'Makin tua, makin jadi baik, tidak?'

Dua puluh empat.
'Cepat juga,' cetusku dalam hati.
Setahun lagi menuju seperempat abad. Tahun yang sangat dekat dengan istilah quarter life crisis.
Sudah berbuat apa, sudah menjadi apa, mau menjadi apa, akan menjadi apa?
Tidak perlu tuntutan dari luar, tuntutan dari diri sendiri saja sudah cukup menyakiti.
Menyakiti.
Ya, karena arah tujuannya belum ada.
Gelap.

Secara finansial tidak bagus-bagus amat, secara karir bisa dibilang biasa sekali, secara perilaku malah sepertinya makin memburuk di depan keluarga.

Wah, benar-benar quarter life crisis.

Sudah beberapa tahun ini aku sadar, tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidup ini.
Kalo begini terus, ga bakal bisa mandiri sendiri.
Tapi, apa yang bisa dilakukan?

Entahlah, gelap





Dua puluh empat.
Berjalanlah pelan-pelan.
Aku tidak tahu harus berkata apa pada dua puluh lima.

Dan, bisakah kau katakan padaku, 'Tenanglah, inilah hidup. Jalani saja.'

Sabtu, 07 Februari 2015

Namun Bukan Dia

Karena kau tersenyum padaku.
Bukan dia.

Ya, sesederhana itu.
Maka aku mencoba menjatuhkan hati ini.
Tapi, gagal .

Aku mencoba tersenyum membalas.
Namun lengkung indah itu segera membentuk garis lurus.

Hampa.

Apa karena bukan dia?
Dia, yang membuat hati itu jatuh tanpa disadari.
Dia, yang memporak-porandakan perasaan ini lalu pergi.
Dia, yang tak pernah tahu ada senyum dalam hening.
Dia...
Yang tak pernah tersenyum padaku?

Mereka berkata, cinta tidak jatuh, tapi tumbuh.
Namun, bagaimana ia bisa tumbuh bila tak lebih dulu jatuh seperti benih bunga indah yang memekar dalam bulan semi yang merona?
Lalu, akankah cinta ini tumbuh untuk hatimu saat ia sudah jatuh di hati yang lain?

Langkah ini bahkan goyah untuk mencari jawaban.

Senin, 10 November 2014

12 Tahun, dan Cinta


***
Menonton #AADCReunion membuat pikiran saya berkutat pada kekosongan yang terjadi selama dua belas tahun.
Seharusnya ada hal yang membuat jiwa kedua insan itu terikat dan hati yang tertaut jauh oleh jarak itu bersikeras.
Maka, tulisan ini saya buat, setidaknya untuk memuaskan hati ini.
12 tahun, dan Cinta.
***





Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karna cinta
digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa

Aku pasti akan kembali
dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku

Karena aku ingin kamu, itu saja.


Karena kata-katamu...
Karena rangkaian kata itu, aku menunggu.
Dalam setiap detik waktu, dalam setiap degup jantung.
Menengadah ke langit, dan berharap pesawat-pesawat itu yang membawamu kembali.
Namun, hampa itu kembali mengusik.
Kamu, tak kunjung kembali.
Seuntai cerita bahkan tak pernah kamu bawa bersama rasa cinta yang ada lewat sebuah surat.

Di mana kamu sekarang.
Apa kabarmu sekarang.
Aku tak tahu harus bertanya pada siapa.
Lewat rajutan rasa ini, aku mencari celah dalam hati.
Kuletakkan perasaan yang berharga itu.
Namun aku tersadar, tak ada lagi celah yang tersisa.
Kamu telah mengisi semua sudut emosi.
Maka kututup semua pintu yang ada.
Hingga tak ada yang dapat menggoyahkannya.
Hingga tak ada yang tahu, bahwa rasa itu tetap hidup dalam sisa-sisa asa yang memudar.


Purnama demi purnama telah berlalu.
Musim demi musim telah terlewati tanpa terasa berarti.
Lalu kau datang dalam sebuah sapaan.
Hanya itu yang kamu ucapkan?
Hanya itu yang kamu pikirkan?
Begitu juga diriku.



Cinta?






Aku pasti akan kembali, dalam satu purnama.
Dalam satu purnama.